Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT: Sikap, Legalisasi Pernikahan dan Komunikasi

19 Februari 2016   09:35 Diperbarui: 19 Februari 2016   16:25 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi kembali ke awal. Pada dasarnya semua orang secara sosial mesti saling menghormati. Lalu secara politik juga berhak mendapat perlakuan sama dari negara. Hak mendapat pekerjaan, layanan kesehatan juga pendidikan. Termasuk dalam konteks ini juga menghormati bila komunitas LGBT ingin memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Seperti misalkan mereka mau demonstrasi ke gedung parlemen menuntut legalisasi status hukum mereka dalam pernikahan. Selama mereka datang tidak bawa golok, senapan, bom molotov, membuat rusuh dan lain sebagainya, ya silahkan saja. Itu hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Lalu kalau komunitas LGBT yang minoritas saja bisa melakukan itu, apalagi yang mayoritas kan. Karena penolak LGBT pun sama-sama warga negara dan mempunyai hak sama melakukan hal serupa. Kalau kaum LGBT itu bisa datang meminta negara melegalisasi status pernikahan, maka penolak LGBT punya hak sama menuntut negara untuk menolak tuntutan mereka. Dan pada titik ini orang harus jelas. Menolak dengan tegas dan konstitusional segala upaya yang ingin melegalkan perkawinan sesama jenis. Karena menghormati dan empati terhadap pengidap LGBT, berbeda dengan menolak legalisasi pernikahan sejenis. Ini sudah bukan perkara individu lagi, tapi perkara sosial.

Bila memang pernikahan sejenis dilegalkan, maka kita mesti bertanya ulang tentang makna pernikahan. Apa sesungguhnya makna sebuah pernikahan, dan masyarakat seperti apa sebenarnya yang mau kita bangun. Bila pernikahan hanya ditempatkan sebagai legalisasi hasrat biologis, lalu kenapa kita tidak melangkah lebih jauh. Misalnya melegalkan semua praktek prostitusi sehingga kita bisa membangun Red District sebagaimana di Amsterdam. Disana seks diperlakukan semata sebagai relasi material. Ada uang, ada kesenangan. Perempuan pun legal dan bebas menjajakan diri sampai berjajar di etalase toko menawarkan pemenuhan hasrat seksual setiap orang. Bahkan kalau itu memang sudah menjadi tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan manusia, kita minta saja MUI mengeluarkan sertifikat halal bagi para PSK. Atau mungkin membuat prostitusi Syariah.

Itu bila kita memang menganggap pernikahan hanya perkara legalisasi hasrat biologis. Tapi kan masyarakat dan budaya kita tidak seperti itu. Masak sih kita mau menurunkan derajat kemanusiaan kita. Kebutuhan kita terhadap wanita sebagai teman hidup, mau diganti dengan kebutuhan wanita sebagai teman di ranjang. Kebutuhan kita terhadap rasa cinta, direduksi menjadi kebutuhan terhadap seks. Kebutuhan kita akan kebahagiaan, direduksi menjadi keinginan memenuhi segala kesenangan. Masak sih kita mau membentuk diri kita dan masyarakat seperti itu?

Bagi para perempuan yang menganggap pernikahan sejenis sebagai hal yang lumrah, coba berpikir dan merasakan lebih dalam. Seperti misalnya bagaimana posisi anak dalam pernikahan sejenis.

Zaman memang sudah maju. Meski pernikahan sejenis tidak akan menghasilkan anak, tekhnologi menyiapkan perangkat lain supaya orang bisa mempunyai anak. Mulai dari titip sperma ke rahim orang lain, sampai dengan tekhnologi bayi tabung. Tapi apa benar kita melihat anak seperti itu?Apa kita mau menempatkan hubungan orang tua dan anak hanya sebatas tanda di akta, ktp atau pencantuman nama bahwa si a itu bin b, c atau d.

Sekarang saja banyak orang yang mengeluh terganggunya tumbuh kembang dan hubungan dengan anak sendiri, ketika pengasuhan anak mereka berikan pada asisten rumah tangga. Lalu apa yang akan terjadi ketika masih dalam masa pembentukan saja, anak dititipkan di rahim orang lain atau disimpan di tabung. Masak sih kita mau menyamakan rahim sendiri dan rahim orang lain. Lebih ngeri lagi, masak sih rahim dianggap mempunyai fungsi sama dengan tabung?Yakinkah kalau proses seperti itu akan membangun hubungan cinta dan kasih sayang antara orang tua dan anak sejak awal?Serius kita mau menempuh hidup yang serba materialistik seperti itu?

LGBT memang sudah menjadi fakta sosial. Sebetulnya orang tidak perlu repot-repot mengatakan orang lain bodoh, tidak baca buku, otak di dengkul lalu menyuruh mereka membuka serat centhini atau mengkaji penelitian gender di Sulawesi untuk mengingatkan itu. Karena tokh dalam benak masyarakat kita sudah tertanam kuat bahwa kaum Nabi Luth yang hidupnya ribuan tahun lalu itu, ya penyuka sesama jenis.

Tetapi sejarah sosial LGBT bukanlah dasar untuk melegalisasi pernikahan sejenis. Fakta sejarah sosial LGBT perlu diungkap supaya kita sama-sama aware dan ada kemajuan dalam menyikapi fenomena ini. Kalau fakta sosial LGBT menjadi alasan legalisasi LGBT, maka ada fakta sosial lain yang juga harus dilegalkan, yaitu membunuh. Karena itulah dosa pertama anak adam.

Hal lain yang ada di kepala saya tentang LGBT adalah, nature atau nurture kah LGBT itu?Apakah LGBT itu bawaan lahir atau faktor lingkungan?Jawaban atas pertanyaan ini tentunya akan berakibat panjang. Kalau LGBT itu bawaan lahir, berarti tidak bisa dirubah. Tidak bisa dianggap sebagai penyakit atau penyimpangan. Mereka sama normalnya dengan masyarakat banyak. Lalu kalau LGBT disebabkan lingkungan, berarti itu penyimpangan dan bisa dirubah. Mesti ada rekayasa sosial dan personal untuk menyembuhkannya.

Secara personal, ada kesulitan bagi saya untuk menggali rujukan ilmiah dalam menjawab pertanyaan ini. Problemnya sederhana saja, tekhnis dan dominasi wacana. Secara tekhnis saya tidak pernah secara khusyuk dan khusus menelaah buku-buku tentang ini. Karena ini kan bukan bidang saya. Lagian kan saya saja nulisnya buat status facebook di kala iseng, bukan untuk jurnal ilmiah supaya kelihatan ilmiah, akademis dan pintar. Ini kan coretan-coretan saja hehehe..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun