Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT: Sikap, Legalisasi Pernikahan dan Komunikasi

19 Februari 2016   09:35 Diperbarui: 19 Februari 2016   16:25 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya saya klarifikasi dahulu. Ini tulisan iseng bukan serius apalagi ilmiah. Jadi jangan tanya jurnal ilmiah mana, buku handbook siapa, data darimana serta laporan penelitian lembaga apa yang mendasarinya. Karena kalau nanya sumber tulisan ini, ya hanya status facebook atau debat-debat semrawut di TV. Paling banter ditambah artikel lah. Jadi tolong jangan bilang buku saya apa dan ukuran otak saya berapa. Karena saya yakin yang nanya pasti lebih banyak baca buku dan ukuran kepalanya lebih luas. Ini hanya otak atik. Sambung menyambungkan kali aja tersambung.

Itu dulu supaya tidak salah faham dan anda menghabiskan energi besar untuk mengeluarkan kata-kata tidak enak di dengar. Selanjutnya saya coba berbicara tentang LGBT sebatas yang saya fahami.

Setidaknya ada dua hal yang muncul di kepala saya ketika membaca lalu lintas pembicaraan publik tentang LGBT. Hal pertama berkaitan dengan sikap terhadap kalangan minoritas dan berbeda seperti komunitas LGBT. Hal kedua adalah bagaimana sains melihat fenomena LGBT. Apakah LGBT itu sebuah penyimpangan yang bisa diluruskan, atau dia merupakan bawaan lahir yang tidak bisa dirubah?Nurture atau nature kah LGBT itu?

Dua tema ini menurut saya mesti dipilah. Kesemrawutan pemilahan atas kedua hal ini yang menjadikan perbincangan tentang LGBT menjadi serba semrawut. Orang mengingatkan tentang hak-hak pengidap LGBT disebut mengamini orientasi seksual LGBT. Pada sisi lain yang mempertanyakan orientasi seksual LGBT, disebut anti LGBT dan tidak toleran terhadap minoritas. Begitu seterusnya. Sehingga yang terjadi itu bukan saling belajar dan memahami, tapi saling memaki. Anehnya, dalam kondisi saling memaki dan mencela, orang terus saja teriak untuk minta difahami dan dimengerti. Sesuatu yang menurut saya sangat ganjil.

Kalau membicarakan penghormatan dan sikap, maka pada dasarnya siapapun harus diperlakukan sama. Terserah dia agamanya apa, pilihan partai politiknya no berapa, asalnya darimana, jenis kelaminnya apa dan lain sebagainya. Apakah kita memposisikan diri sebagai warga negara maupun memposisikan diri sebagai manusia, menghormati orang lain itu adalah sebuah perintah. Undang-Undang, yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara, mengatakan bahwa salah satu tugas negara itu ya melindungi semua warga negara. Sementara agama sebagai pedoman hidup manusia, juga mengajarkan supaya kita adil karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan kita tidak boleh tidak bersikap adil hanya karena kita mempunyai rasa tidak suka terhadap orang tersebut.

Jangankan LGBT yang masih manusia, semut yang hewan saja kata Nabi mesti dihormati. Karena ketika Nabi digigit semut, sahabat menawarkan untuk membakar semua sarang semut. Tapi Nabi mengingatkan : "Apa kamu mau membunuh makhluk yang juga bertasbih sama Allah?" Jadi binatang yang levelnya dibawah manusia saja mesti dihargai, apalagi manusia yang sudah diciptakan Tuhan fi ahsani taqwim, dalam sebaik-baik bentuk. Jadi tidak pas untuk menyamakan LGBT dengan anjing. Selain anjing juga ada yang homo, manusia memang tidak selevel dengan anjing.

Lagipula ingat lho!.. kalau kita konsisten berbicara agama, maka ketika kita bertemu dengan orang yang kondisinya, minimal dalam perspektif kita memprihatinkan, maka agama mengajarkan orang untuk mengucapkan kalimat Naudzubillahi min dzalik terlebih dahulu. Kalimat yang berarti Ya Tuhan, saya meminta perlindungan-Mu untuk untuk tidak menjadi seperti itu. Artinya yang pertama harus kita lakukan itu, proteksi dan koreksi diri. Hal yang berdimensi internal. Bukan bergerak keluar untuk menyerang. Bila setelah itu kita akan bergerak keluar untuk menghapuskanya, silahkan dilakukan. Karena agama juga selain memerintahkan beramar maruf, menyeru pada kebaikan, juga menyuruh nahi munkar, melarang orang berbuat munkar. Amar Maruf Nahi Munkar itu satu paket dalam satu tarikan nafas.

Hanya saja ketika kita mau melakukan itu, agama juga memberikan rambu-rambu yang mesti diingat. Seperti yang ditunjukan oleh Ali Bin Abi Thalib ketika turun di medan laga pertempuran. Ketika seorang musuh pengusung kemungkaran sudah jatuh terduduk dan menyerah tidak berdaya, Ali bersiap mengayunkan pedang untuk memenggal kepalanya. Tetapi Ali urung melakukannya. Ketika ditanya kenapa tidak meneruskan, kata Ali dia urung memenggal kepala orang itu karena waktu itu dia sudah dikuasai nafsu amarah.

Jadi Ali tidak jadi memenggal kepala orang itu karena takut motif nya hanya nafsu amarah saja. Hal terakhir inilah yang menjadi pr terbesar bila kita memang mau nahi munkar. Menjaga diri supaya tidak terperangkap motif nafsu amarah.

Hanya memang orang sering mengernyitkan kening kalau mendengar item-item tuntutan keadilan dari kaum LGBT. Seperti menuntut supaya orang tidak membully mereka. Karena tanpa menjadi LGBT pun, bully itu dialami hampir semua orang. Orang berbeda profesi, beda suku, beda sekolah, beda pendapatan saja kena bully. Apalagi beda orientasi seksual. Lagipula bukankah membully itu juga salah satu cara yang dipakai para pendukung LGBT ketika menghadapi penentang LGBT?Misalnya dengan mengatakan bodoh, tidak baca buku, nalarnya mesti dikasihani dan lain sebagainya.

Atau menuntut supaya pejabat negara menjaga omongannya yang suka menyudutkan dan menyakitkan mereka. Lah pejabat negara itu jangankan sama kaum minoritas seperti LGBT, omongannya sama orang kebanyakan saja menyakitkan kok. Orang miskin yang mayoritas saja disuruh diet. Apa tidak menyakitkan tuh. Juga mengharap semua orang tidak melakukan diskriminasi. Saya bingung bagaimana mewujudkannya. Karena jangankan Indonesia yang sering dituding negeri dengan penduduk konservatif, belum maju, tidak terbuka dan lain sebagainya, lah Amerika dan Eropa yang katanya modern, terbuka, pintar dan negeri yang paling getol menyeru toleransi, sama minoritas saja masih diskriminatif kok. Disana masih ada diskriminasi ras kan?

Jadi kembali ke awal. Pada dasarnya semua orang secara sosial mesti saling menghormati. Lalu secara politik juga berhak mendapat perlakuan sama dari negara. Hak mendapat pekerjaan, layanan kesehatan juga pendidikan. Termasuk dalam konteks ini juga menghormati bila komunitas LGBT ingin memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Seperti misalkan mereka mau demonstrasi ke gedung parlemen menuntut legalisasi status hukum mereka dalam pernikahan. Selama mereka datang tidak bawa golok, senapan, bom molotov, membuat rusuh dan lain sebagainya, ya silahkan saja. Itu hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Lalu kalau komunitas LGBT yang minoritas saja bisa melakukan itu, apalagi yang mayoritas kan. Karena penolak LGBT pun sama-sama warga negara dan mempunyai hak sama melakukan hal serupa. Kalau kaum LGBT itu bisa datang meminta negara melegalisasi status pernikahan, maka penolak LGBT punya hak sama menuntut negara untuk menolak tuntutan mereka. Dan pada titik ini orang harus jelas. Menolak dengan tegas dan konstitusional segala upaya yang ingin melegalkan perkawinan sesama jenis. Karena menghormati dan empati terhadap pengidap LGBT, berbeda dengan menolak legalisasi pernikahan sejenis. Ini sudah bukan perkara individu lagi, tapi perkara sosial.

Bila memang pernikahan sejenis dilegalkan, maka kita mesti bertanya ulang tentang makna pernikahan. Apa sesungguhnya makna sebuah pernikahan, dan masyarakat seperti apa sebenarnya yang mau kita bangun. Bila pernikahan hanya ditempatkan sebagai legalisasi hasrat biologis, lalu kenapa kita tidak melangkah lebih jauh. Misalnya melegalkan semua praktek prostitusi sehingga kita bisa membangun Red District sebagaimana di Amsterdam. Disana seks diperlakukan semata sebagai relasi material. Ada uang, ada kesenangan. Perempuan pun legal dan bebas menjajakan diri sampai berjajar di etalase toko menawarkan pemenuhan hasrat seksual setiap orang. Bahkan kalau itu memang sudah menjadi tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan manusia, kita minta saja MUI mengeluarkan sertifikat halal bagi para PSK. Atau mungkin membuat prostitusi Syariah.

Itu bila kita memang menganggap pernikahan hanya perkara legalisasi hasrat biologis. Tapi kan masyarakat dan budaya kita tidak seperti itu. Masak sih kita mau menurunkan derajat kemanusiaan kita. Kebutuhan kita terhadap wanita sebagai teman hidup, mau diganti dengan kebutuhan wanita sebagai teman di ranjang. Kebutuhan kita terhadap rasa cinta, direduksi menjadi kebutuhan terhadap seks. Kebutuhan kita akan kebahagiaan, direduksi menjadi keinginan memenuhi segala kesenangan. Masak sih kita mau membentuk diri kita dan masyarakat seperti itu?

Bagi para perempuan yang menganggap pernikahan sejenis sebagai hal yang lumrah, coba berpikir dan merasakan lebih dalam. Seperti misalnya bagaimana posisi anak dalam pernikahan sejenis.

Zaman memang sudah maju. Meski pernikahan sejenis tidak akan menghasilkan anak, tekhnologi menyiapkan perangkat lain supaya orang bisa mempunyai anak. Mulai dari titip sperma ke rahim orang lain, sampai dengan tekhnologi bayi tabung. Tapi apa benar kita melihat anak seperti itu?Apa kita mau menempatkan hubungan orang tua dan anak hanya sebatas tanda di akta, ktp atau pencantuman nama bahwa si a itu bin b, c atau d.

Sekarang saja banyak orang yang mengeluh terganggunya tumbuh kembang dan hubungan dengan anak sendiri, ketika pengasuhan anak mereka berikan pada asisten rumah tangga. Lalu apa yang akan terjadi ketika masih dalam masa pembentukan saja, anak dititipkan di rahim orang lain atau disimpan di tabung. Masak sih kita mau menyamakan rahim sendiri dan rahim orang lain. Lebih ngeri lagi, masak sih rahim dianggap mempunyai fungsi sama dengan tabung?Yakinkah kalau proses seperti itu akan membangun hubungan cinta dan kasih sayang antara orang tua dan anak sejak awal?Serius kita mau menempuh hidup yang serba materialistik seperti itu?

LGBT memang sudah menjadi fakta sosial. Sebetulnya orang tidak perlu repot-repot mengatakan orang lain bodoh, tidak baca buku, otak di dengkul lalu menyuruh mereka membuka serat centhini atau mengkaji penelitian gender di Sulawesi untuk mengingatkan itu. Karena tokh dalam benak masyarakat kita sudah tertanam kuat bahwa kaum Nabi Luth yang hidupnya ribuan tahun lalu itu, ya penyuka sesama jenis.

Tetapi sejarah sosial LGBT bukanlah dasar untuk melegalisasi pernikahan sejenis. Fakta sejarah sosial LGBT perlu diungkap supaya kita sama-sama aware dan ada kemajuan dalam menyikapi fenomena ini. Kalau fakta sosial LGBT menjadi alasan legalisasi LGBT, maka ada fakta sosial lain yang juga harus dilegalkan, yaitu membunuh. Karena itulah dosa pertama anak adam.

Hal lain yang ada di kepala saya tentang LGBT adalah, nature atau nurture kah LGBT itu?Apakah LGBT itu bawaan lahir atau faktor lingkungan?Jawaban atas pertanyaan ini tentunya akan berakibat panjang. Kalau LGBT itu bawaan lahir, berarti tidak bisa dirubah. Tidak bisa dianggap sebagai penyakit atau penyimpangan. Mereka sama normalnya dengan masyarakat banyak. Lalu kalau LGBT disebabkan lingkungan, berarti itu penyimpangan dan bisa dirubah. Mesti ada rekayasa sosial dan personal untuk menyembuhkannya.

Secara personal, ada kesulitan bagi saya untuk menggali rujukan ilmiah dalam menjawab pertanyaan ini. Problemnya sederhana saja, tekhnis dan dominasi wacana. Secara tekhnis saya tidak pernah secara khusyuk dan khusus menelaah buku-buku tentang ini. Karena ini kan bukan bidang saya. Lagian kan saya saja nulisnya buat status facebook di kala iseng, bukan untuk jurnal ilmiah supaya kelihatan ilmiah, akademis dan pintar. Ini kan coretan-coretan saja hehehe..

Selain itu ada juga dominasi wacana. Karena saya sangat percaya adanya dominasi wacana dalam setiap kurun waktu. Seperti ketika masa Orde Baru yang sulit untuk mengagungkan capaian-capaian Orde Lama. Bahkan kemudian memberangus semua wacana yang dianggap bertentangan. Misalkan saya mencari rujukan ilmiah tentang ini ke Prof Google, siapa yang menjamin bahwa Google mencantumkan semua versi LGBT?Baik yang pro maupun kontra. Karena facebook saja sudah berlaku seperti itu kan. Lagipula LGBT sudah menjadi gerakan politik kan. Di Amerika sana sudah berhasil melegalisasi pernikahan sejenis dan sekarang bergerak melawan sains yang menentang mereka.

Beberapa waktu lalu misalnya saya membaca tulisan Ulil tentang syahnya LGBT, tetapi dengan merujuk psikologi klinis. Pertanyaan saya, kenapa tidak merujuk pada psikologi positif. Mazhab psikologi yang melihat LGBT sebagai sebuah penyakit yang bisa disembuhkan. Orang juga bisa mengutip DR Ryu, pakar syaraf yang mengatakan bahwa secara neurologi LGBT itu normal-normal saja. Tetapi kenapa tidak melihat penelitian tentang Gen dari Skotlandia misalnya. Yang mengungkap bahwa LGBT itu ya faktor lingkungan. Penelitian terhadap sepasang anak kembar yang mempunyai gen sama, tetapi kenapa satu anak menjadi LGBT sementara kembar satu lagi tidak. Saya sendiri agak rumit menjawab hal ini dalam perspektif kajian tentang LGBT.

Tetapi dalam menjawab pertanyaan apakah LGBT itu nature atau nurture, saya punya cara lain. Kita bisa mengganti subjek LGBT nya dalam bentuk lain. Karena pada dasarnya pertanyaan nature atau nurture, itu juga pertanyaan yang terjadi di kajian lain. Misalkan saja dalam studi komunikasi. Dalam kajian Komunikasi Kelompok yang membahas bab Leadership, ada sebuah pertanyaan dasar tentang Leadership. Apakah leadership itu traits atau train. Ini pertanyaan penting yang menimbulkan perdebatan dan berimplikasi panjang.

Kalau orang berpendapat bahwa pemimpin itu traits, bawaan, maka yang namanya pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan. Tidak ada lagi teori-teori yang bisa menjelaskan kenapa seseorang bisa menjadi seorang pemimpin. Kecuali bahwasannya dia memang sudah diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang pemimpin.

Dulu untuk mengurai contoh perspektif ini, kami membahas tentang sosok Soekarno. Menjadi sebuah pertanyaan besar kenapa seorang Soekarno menjadi pemimpin besar. Di zaman tidak ada konsultan komunikasi, kenapa Soekarno bisa begitu terampil berdialog dengan publik. Bila berorasi didepan rakyat banyak, begitu memukau dan menghipnotis. Ketika pidato di depan sidang PBB, orang terkejut dan keder. Selain Soekarno tidak melepaskan peci sebagai simbolnya, juga berani melepas sepatu untuk dipukul-pukulkan di mimbar. Lalu ketika di Istana, bisa rileks berhadapan dengan wartawan.

Begitu juga dalam sepakbola. Sulit menjelaskan seorang Maradona bisa mempunyai skill sepakbola seperti itu. Dia bukan lulusan akademi sepakbola Barca dan Ajax yang kesohor. Bahkan dia juga datang dari Argentina. Negeri yang dianggap tidak setara dengan Jerman atau Inggris. Tapi orang sepakat bahwa kemampuan Maradona diatas Beckenbauer legenda Jerman dan Bobby Robson legenda Inggris. Hal yang bisa menjelaskan ini hanya satu : Maradona memang diciptakan Tuhan untuk menjadi maestro dalam sepakbola

Tetapi perspektif traits ini dikritik oleh perspektif train. Menurut perspektif train, kepemimpinan itu pada dasarnya bukan dilahirkan tetapi diciptakan. Manusia pada dasarnya bisa membuat rekayasa personal dan sosial untuk membentuk pemimpin-pemimpin baru di tengah masyarakat. Karena kalau pemimpin itu dilahirkan, maka kita hanya akan menunggu datangnya pemimpin.

Karena kepemimpinan itu memang bisa direkayasa, maka lahirlah berbagai macam rekayasa sosial melalui pendidikan dan pelatihan untuk menciptakan banyak pemimpin. Ormas-ormas kepemudaan secara rutin menjalankan training kepemimpinan. Instansi pemerintah pun dimana-mana mendirikan Balai Pendidikan dan Pelatihan. Kembali ke Maradona, dunia sepakbola pun banyak membangun akademi sepakbola untuk melahirkan pesepakbola hebat.

Karenanya dari sini muncullah pemimpin-pemimpin yang bertebaran dimana. Ada yang memimpin di tingkat lokal, nasional, level eselon satu, dua dan lain sebagainya. Dalam dunia sepakbola juga begitu. Akademi sepakbola Ajax bisa melahirkan seorang Zlatan Ibrahimovic sebagaimana Akademi Sepakbola Barca bisa melahirkan seorang Andreas Iniesta. Jadi pada dasarnya semua bisa dibentuk dan direkayasa. Asal ada proses yang sistematis, konsisten dan terukur.

Tetapi kalau kita lihat kembali, ada perbedaan signifikan antara perspektif train dan trait. Pemimpin dalam perspektif traits, selain fenomenal, besar, dia juga sangat langka dan lama munculnya. Sampai saat sekarang, orang Mesir masih mengingat Indonesia dengan Soekarno. Karena itulah Presiden Indonesia yang dianggap fenomenal. Begitu juga Sepakbola. Orang boleh berdecak kagum dengan skill Christiano Ronaldo, tapi legenda sepakbola tetaplah Maradona. Sementara pemimpin dalam perspektif train, lahirnya banyak dan berkali-kali dalam satu waktu, tapi tidak fenomenal. Ada banyak pemimpin yang lahir dan hadir di setiap tingkatan. Mereka semua bertebaran.

Dalam konteks inilah saya mencoba memahami pertanyaan apakah LGBT itu bawaan atau faktor lingkungan. Dari sini saya bisa memahami kenapa dalam debat-debat publik pro dan penentang LGBT begitu keras dan mereka sangat kuat dengan argumen masing-masing. Lengkap dengan data dan fakta yang sulit dibantah.

Dalam rekaman acara ILC tentang kontroversi LGBT yang dikutip banyak orang itu, saya mendapat satu kata kunci yang terlontar dari pendukung LGBT. Bahwa komunitas LGBT itu pada dasarnya tidak 100% homo. Berarti ada variasinya. Mungkin homonya 20%,30%,mungkin juga sampai 90%. Sepertinya hanya sedikit diantara mereka seperti Alan Touring (Tokoh LGBT yang kemarin diributkan apakah dia penemu komputer atau bukan) yang bisa begitu tersiksa dan sampai harus bunuh diri karena tidak sanggup menjalankan teraphi. Karena tokh banyak juga yang sembuh bahkan tanpa harus ikut terapi sekalipun.

Mungkin...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun