Ketika fungsi Google sukses mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, apakah Google pantas disejajarkan dengan guru? Sebenarnya saya juga tidak setuju dengan itu (barangkali sama dengan kebanyakan pembaca). Saya juga pikir fungsi guru lebih dari pada itu. Mereka menuntun, membimbing, hingga mengarahkan kita menjadi pribadi yang terbaik.
Tapi kalau kembali kita timbang, hampir sebagian besar ilmu yang diberikan guru zaman now, juga mudah ditemukan oleh Google. Apakah menyamakan keduanya terlalu berlebihan? Atau justru kelewatan. Di dalam akal sehat kita pasti berkecamuk pembelaan untuk guru-guru kita, karena itu juga yang saya coba lakukan. Berusaha mengingat memori terbaik untuk menguatkan premis bahwa guru adalah sumber ilmu terbaik, bukan si Google.
Lalu sambil menatap ke langit-langit sembari tangan melipat dan menyangga kepala, saya mencoba flashback.Hasilnya, maaf Sahabat pembaca, saya sulit betul mengingat guru yang melekat sebagai sosok inspiratif dan terkenang belasan hingga bahkan puluhan tahun, apalagi ilmunya. Tapi itu yang saya rasakan. Artinya itu yang saya alami. Jika Sahabat lakukan hal serupa, mungkin hasilnya bisa berbeda. Karena mungkin saja Sahabat pernah diajarkan oleh guru-guru yang sungguh memorabledan ilmu-ilmu mereka melekat hingga saat ini.Jelas, beda kelas beda pengalaman. Konon lagi beda sekolah.
Tapi ini menjadi penting, karena sudah sepatutnya seorang guru menempati ruang spiritual di setiap anak didiknya. Iya sama seperti guru spiritual yang selalu kita alamatkan pujian dan terima kasih karena sumbangsihnya pada hidup kita. Sekarang yang terjadi rasanya jarang ada orang yang memberikan penghargaan itu kepada guru-guru mereka. Bukankah itu menjadi salah-satu tanda bahwa sebagian besar guru di Indonesia belum menyentuh ruang batin siswanya.
Dewasa ini, saya baru paham bahwa guru bekerja sesuai kurikulum. Begitu besar energinya ia curahkan untuk mendidik sesuai perintah pusat, dibandingkan sesuai kebutuhan anak. Menjadi ironis karena tuntutan pemerintah menjadi dasar penilaian kinerja guru. Alhasil tidak ada kesempatan bagi para guru untuk mendidik para murid sesuai dengan perkembangan dinamika sosial yang ada. Kalaupun sempat, balik lagi pada hitung-hitungan capai dan gaji.
Kalau setiap guru masih seperti ini, agaknya bangsa ini cukup sulit bagi guru untuk menggali kebutuhan siswa. Apalagi untuk merespon perubahan dunia yang begitu dinamis. Alhasil guru-guru terjerembab pada rutinitas zona nyaman, tanpa ingin memperbaiki arah yang seharusnya ia ambil. Terlebih lagi pemerintah menjanjikan insentif yang sepadan untuk guru yang memenuhi target. Ketika sebutan guru benar-benar diperuntukan untuk sebuah profesi, maka celakalah. Kita tinggal menghitung saja berapa banyak siswa yang menjadikan aktivitas belajar sebagai alat mengeruk materi, dan bukan menemukan makna hidup yang hakiki.
Guru zaman now
Saya ingin kasih contoh perubahan yang mendesak harus digegas pada guru. Setiap siswa di negara-negara barat, zaman dahulu diwajibkan untuk mengenakan pakaian seragam, duduk dibangku yang berderet rapi, sebenarnya bukan tanpa alasan. Revolusi industri yang menuntut jumlah pekerja buruh yang melimpah dan terdidik, membuat sekolah merespon kebutuhan tersebut dengan mencetak generasi calon pekerja lewat pendidikan. Sistem pendidikan di sana pada waktu itu mewajibkan keseragaman, punya kemampuan menghapal yang baik, disiplin, dan keteraturan. Karena hal itu yang paling dibutuhkan dunia kerja.
Kalau kita pikir, apa yang sedang berlangsung pada sistem pendidikan Indonesia, tanpa kita sadai hanya mengamini bahwa generasi masa depan Indonesia harus selalu menjadi buruh yang tertib dan mampu diandalkan. Itu tadi masih di era informasi. Saat ini sudah memasuki era digitalisasi. Bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia? Kita belum beranjak, saat dunia lain sudah melangkah dua era.
Ketika kurikulum begitu sulit kita jamah karena dihuni banyak kepentingan, maka atas alasan itu saya sebut dari awal bahwa guru benar-benar menjadi pemegang tombak yang paling menentukan. Saya coba mengingat kembali sebuah tontonan film dokumenter yang sangat bagus, rilis lima atau enam tahun lalu dengan judul Waiting for "Superman". Cerita film yang ditulis dan disutradarai oleh Davis Guggenheim ini menceritakan tentang kondisi "sebenarnya" (inside condition) sistem pendidikan yang ada di Amerika Serikat.
Status kehebatan pendidikan dengan derajat nomor wahid yang disandang Amerika Serikat, dimentahkan begitu telak lewat beberapa kasus yang dijabarkan di film ini. Ketidakmerataan kualitas pendidikan, kualitas guru yang timpang, hingga kebijakan pemerintah pusat yang saling tumpang tindih dengan masing-masing negara bagian, menjadi tantangan pelik Amerika Serikat. Kejayaan pendidikan Amerika Serikat jatuh ke titik nadir setelah memasuki tahun 70-an hingga memasuki awal abad 21.
Sebuah ironi yang harus kita pahami adalah bahwa kemajuan Amerika Serikat bukan sepenuhnya ditopangsumber daya manusia yang lahir dari sistem pendidikan yang optimal. Terutama menjelang krisis dan paska krisis 2007, keberlangsungan ekonomi Amerika Serikat justru dipengaruhi oleh orang-orang dari negara lain (luar Amerika), yang memilih berkarir di Amerika. Kemudian beberapa di antaranya mendapat tawaran menjadi warga negara Amerika Serikat.
Dalam film tersebut, kesulitan ekonomi dialami banyak orang-tua. Tidak hanya itu, orang-tua juga dibayang-bayangi kualitas institusi pendidikan yang bobrok. Terkhusus untuk public school(sekolah negeri).Dari beberapa penyebab yang dijabarkan, masalah tenuremenjadi fokus utama penyebab buruknya pendidikan di Amerika. Tenuremerupakan kontrak yang dimiliki oleh guru. Salah satu poin penting dalam tenuredan menjadi biang masalah adalah siapapun guru yang memiliki sertifikat tenure, akan dibayarkan gaji dan tunjangan sebagai guru meskipun ia tidak menjalankan tugas dengan baik. Bahkan meski ia tidak mengajar di kelas, ia tetap mendapat hak-hak gajinya secara utuh. Lebih "enaknya" pula, mereka tidak dapat dipecat!
Lalu di tengah kesemerawutan yang hampir tanpa jalan keluar. Muncul nama Michelle Rhee. Perempuan yang pada saat itu berusia 37 tahun dan hanya baru memiliki pengalaman sebagai pengacara, lalu pengalaman 3 tahun menjadi guru. Michelle Rhee kemudian diangkat sebagai Chancellor of D.C. public schoolsatau setingkat Dirjen Kementerian Pendidikan. Kemudian Michelle Rhee mentransformasi sistem pendidikan dengan menawarkan dua buah pilihan yang membuat guru-guru yang tenggelam dalam comfort zoneitu berubah. Ia akan menaikan pendapatan guru-guru sebanyak 6 kali lipat, jika guru tersebut bersedia memutuskan kontrak tenure. Bahkan, jumlah pendapatannya bisa naik lagi jika setiap guru meningkatkan kompetensi dan prestasi mereka. Kebijakan ini mengubah mindsetmayoritas guru dan secara langsung memperbaiki kualitas sistem pendidikan.
Ketegasan seorang Michelle Rhee dalam menciptakan sebuah sistem pendidikan terbaik menjadi bagian paling menarik dalam film ini. Pemecatan kepala sekolah yang tidak becus, menutup sekolah yang tidak mampu melahirkan siswa-siswi yang cerdas dan berkompetensi, hingga memberhentikan begitu banyak guru yang hanya ingin bersantai-santai dan terima gaji
Selain Michelle Rhee, ada nama Geoffrey Canada yang juga mengambil peran penting dalam transformasi sistem pendidikan Amerika. Dalam kondisi krisis tadi, muncul sekolah-sekolah charter schoolyang mempekerjakan guru-guru profesional dan menaruh dedikasi tinggi atas profesi seorang guru. Charter school menjadi institusi swasta yang pendanaanya dibantu oleh masyarakat. Sistem pendidikan (kurikulum) yang diterapkan tidak dipengaruhi oleh kebijakan pusat. Uniknya, seluruh charter school memiliki kuota terbatas dalam penerimaan siswa, dan hanya menggunakan undian (mereka sebut lotere), untuk memilih siswa baru. Tanpa seleksi standar nilai atau ujian masuk apapun.
Geoffrey Canada merupakan sorang guru yang mendirikan charter school:Harlem Children's Zone Project. Sekolah ini mengajarkan nilai-nilai esensial yang relevan dipelajari setiap anak di zamannya. Guru-gur yang mengajar juga pilihan dari orang-orang yang paling ingin berdedikasi untuk mendidik anak-anak. Bukan hanya sekedar mencari pekerjaan semata. Sekolah ini akhirnya mampu tumbuh menjadi harapan di tengah ambrolnya sekolah-sekolah lain di Amerika.
Sama halnya seperti dengan esensi film tersebut.Guru-guru di Indonesia sudah sepatutnya mengajar berdasarkan insting mereka. Tinggalkan hal-hal yang sudah tidak relevan lagi diajarkan di zaman yang sudah berubah seperti sekarang. Anak-anak Indonesia belajar untuk masa depan, bukan masa lalu. Sudah sepantasnya mereka diajari bagaimana merespon dan menyambut perubahan yang ada di masa depan. Jangan lupa pula menyiramkan nilai-nilai kebaikan yang membasahi setiap batin anak didik. Karena ketika nilai itu bersemai, maka para guru juga yang akan menuai kebahagiaan.
Terakhir, semoga guru-guru kebanggaan bangsa Indonesia semakin sejahtera kehidupannya. Kemudian semakin arif mengenali fungsi bakti profesi yang mereka sandang. Karena seorang guru yang bijak tidak akan mengesampingkan kepentingan siswanya daripada kepentingannya sendiri. Selamat hari guru. Terima kasih guru-guruku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H