Oleh Delfi Yudha Frasetia
Â
Wajar jika Pak menteri koordinator kemaritiman dan sumber daya, Rizal Ramli rada nyinyir seputar pembelian pesawat Airbus A350 oleh Garuda. Pasalnya, jalannya roda bisnis maskapai penerbangan memang ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau bukan karena elastisitas atas begitu banyak faktor yang melekat dan saling mempengaruhi. Katakanlah faktor keamanan, ekonomi, peraturan pemerintah, pariwisata, hingga masalah kecantikan pun turut mempengaruhi keberhasilan suatu perusahaan maskapai.
Jadi, jangan heran jika jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 beberapa waktu lalu sungguh menampar industri penerbangan di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Ditambah lagi ini terjadi sebelum genap setahun menghilangnya pesawat MH370 milik Malaysia Airlines. Sudah barang pasti para CEO maskapai penerbangan sedang pusing tujuh keliling memikirkan dampak pada perusahaan mereka.
 Â
Â
 *Baca artikel Petani Pejuang Dunia Moderen di http://www.katabangdel.com/2015/09/petani-pejuang-pangan-dan-gizi-bangsaku.html
Dalam menghadapi krisis yang kerap menerpa industri penerbangan ini, AirAsia dapat dikatakan tampil lebih didepan. Bukan karena bisnis mereka yang tergolong ramping, tapi karena cara mereka dalam menghadapi tekanan benar-benar mengundak decak kagum. Beberapa diantara ini mungkin dapat memberikan kita pemahaman mengenai bagaimana AirAsia dapat segera keluar dari pusaran krisis yang menerpa mereka.
Â
Terbang Keluar Dari Pusaran Krisis Ekonomi 1998
Sama dengan Negara-negara Asia tenggara lainnya, Malaysia juga tak luput dari badai krisis mata uang pada tahun 1997-1998 yang membuat hutang-hutang perusahaan dalam negeri melonjak drastis. Alhasil, masuklah Airasia ke dalam jajaran perusahaan yang terancam bangkrut karena memliki hutang yang luar biasa besar.