Namun belakangan, semua itu ada hikmahnya. Selama di rumah sakit, rasa takut kehilangan terasa meruncing. Terlebih tiap menyaksikan langsung berbagai tindakan medis yang dilakukan pada diri Abah.
Waktu dan nyawa. Dengan apa kau bisa membelinya?
Pertanyaan itulah yang terus berseliweran di kepalaku setiap memandangi Abah yang tergolek lemah.
Tuhan telah 'menamparku' supaya sadar dan ingat. Bahwasanya, masih ada orangtua (satu lagi) yang wajib diperhatikan. Selagi masih hidup, selagi masih ada kesempatan.
Ya, aku sudah merasakan kehilangan seorang Ibu. Dan setiap kali terkenang, yang ada dalam benakku adalah, hal-hal yang belum sempat kulakukan untuk Ibu.
Apa harus terjadi lagi untuk kedua kalinya?
Antara aku dan Abah, tentu saja, hanya Tuhan yang mahatahu perihal siapa yang berpulang lebih dulu. Namun, sekali lagi, selagi masih diberikan waktu dan kesempatan, terlalu sayang untuk disia-siakan.
Kesembuhan Abah merupakan titik balik. Aku tak mau Abah lepas dari pengawasanku. Menitipkannya ke panti jompo bukanlah pilihan. Ya, bukan pilihan.
Aku banting setir. Dari dunia survei-menyurvei --sebagai enumerator yang kemudian menjadi supervisor-- beralih ke dunia dagang. Yakni, membuka kios di halaman rumah dengan modal patungan bersama salah satu abang.
Dengan begitu, aku bisa mengalokasikan waktu lebih banyak di rumah, dan lebih dekat dengan Abah.
Sejak tahun 2014, hubungan di antara kami jadi lebih mesra. Tak seperti dulu yang terasa rada-rada asing gimana gitu. Namun, tetap saja, pastilah ada bumbu-bumbu kehidupan ala dinamika bapak-anak. Beda generasi, beda pola pikir, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Terlepas dari semua itu, sekali lagi, syukur alhamdulillah yang mana sampai saat ini aku dan Abah masih bisa ngopi bareng. Plus, ngalor-ngidul yang kadang-kadang nyambung, tapi kadang-kadang juga tidak.