Entahlah! Mendadak semuanya berasa campur aduk tidak karuan.Â
(kuberi sedikit bocoran sebelum aku dihadapkan pada kegetiran ini)
Dibanding sama bapak sendiri, aku tuh malah lebih rajin berkomunikasi sama pacar. Mulai dari bertanya soal aktivitasnya, kesehatannya, sampai yang paling receh soal sudah makan apa belum.
Udah gitu, aku tuh lebih tahu soal masalah apa yang dihadapi teman-teman, ketimbang bagaimana keadaan bapak sendiri, yang diam-diam menyembunyikan kondisi kesehatannya.
Ah, anak macam apa aku ini?!
Aku mengganggap Abah cuek. Tapi nyatanya, aku sendiri lebih cuek terhadap dirinya. Sungguh egois. Sangat-sangat egois.
"Sungguh terlalu!" Begitu kata Bung Rhoma.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana tindakan medis yang dilakukan pertama kali untuk menolong Abah. Kateter dipasang melalui (maaf) alat kelaminnya. Satu tindakan guna melancarkan urine bercampur darah yang sebelumnya tidak bisa keluar sama sekali.
Duh, Gusti. Ngilu. Benar-benar ngilu.
Sebagai bungsu dari delapan bersaudara, aku dimandatkan untuk menjaga Abah di rumah sakit. Kebetulan, mereka semua sudah berumah tangga dan sibuk ini-itu. Jadi, hanya bisa membesuk tanpa menginap.
Awalnya aku kesal. Kenapa cuma aku? Bukannya anak Abah ada banyak? Terus, bagaimana dengan aktifitas keseharianku? Kok mereka seenaknya begitu, apa sementang aku ini bungsu?