Tradisi ini dipelopori oleh Sunan Bonang. Syair lagunya berisi pesan tauhid dan setiap bait lagu diselingi pengucapan dua kalimat syahadatain, kemudian menjadi sekaten.
Tradisi sekaten ini hampir sama dengan tradisi memandikan Gong Kyai Pradaah di Lodoyo, Blitar yang dilakukan untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Yang mana pada akhir acara air bekas memandikan gong banyak dicari warga karena dipercaya dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit.
Ada juga tradsi Megengan atau Dandangan. Tradisi ini merupakan upacara Untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini dilakukan kenduri di setiap rumah warga, namun pada masa sekarang kenduri banyak dilakukan secara bersama sama di masjid maupun mushola. Selain itu masyarakat juga melakukan ziarah ke makam sanak saudara yang telah meninggal.Â
Di beberapa tempat acara utama tradisi ini adalah menabuh bedug yang ada di masjid sebagai tanda bahwa esok hari telah memasuki bulan Ramadhan. Tradisi ini masih terpelihara khususnya di daerah Kudus dan Semarang.
Lalu ada Nyadran. Istilah nyadran berasal dari kata sadran dari Bahasa jawa yang berarti ziarah atau nyekar. Sedangkan dalam Bahasa kawi dari kata sraddha yang artinya upacara peringatan hari kematian seseorang. Nyadran dalam tradisi jawa bertujuan untuk menghormati orang tua atau leluhur mereka dengan melakukan ziarah kubur dan mendoakan arwah mereka.Â
Di daerah lain nyadran diartikan sebagai bersih makam para leluhur dan sedulur (saudara). Kemudian bersih desa yang dilakukan dari pagi sampai menjelang dzyhur.
Terkait mengenai berbagai tradisi kebudayaan Islam di jawa yang merupakan akulturasi antara agama Islam dan Hindu Buddha ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat pada zaman sekarang. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa tradisi seperti ini masih diperbolehkan di dalam syariat Islam karena yang membuat beberapa tradisi ini tak lain adalah ulama wali songo itu sendiri. Namun Tak sedikit pula yang menentang pelaksanaan tradisi-tradisi ini.
Masyarakat yang menentang tradisi ini berpendapat bahwa tradisi-tradisi seperti tahlilan kematian, larung sesaji setiap tanggal 1 Sura, Memandikan gong dan membagikan airnya untuk obat, semua itu merupakan kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam dan menjurus ke dalam kemusyrikan. Menurut mereka pada zaman dahulu wali songo membuat tradisi seperti itu adalah agar para masyarakat jawa pada masa itu tidak kaget karena harus meninggalkan tradisi mereka terdahulu.
Oleh karena itu para wali songo mengubahnya sedikit demi sedikt dan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pada masa itu, Sedangkan di zaman sekarang ilmu tentang agama Islam telah begitu luas dikenal masyarakat Indonesia, dan diketahui bahwa tradisi-tradisi seperti itu tidak sesuai dengan syariat-syariat islam yang dicontohkan oleh Rasullulah SAW.
Terlepas dari polemik pro dan kontra masalah tradisi ini, sikap kita seyogyanya adalah saling menghormati. Kita tidak boleh memaksakan suatu kehendak kepada orang lain. Jika ada sesuatu yang salah maka kita sampaikan bagaimana kebenarannya. Masalah seseorang akan berunah atau pun tidak itu terserah setiap pribadi masing masing. Kita harus menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan toleransi. Jangan jadikan tradisi sebagai pemecah persatuan di dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H