Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Sungai di Lereng Gunung: Edukasi, Konservasi, dan Pemberdayaan

21 Mei 2024   13:44 Diperbarui: 22 Mei 2024   14:52 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai dengan air bening langsung dari hulu di Argopuro. Dokumentasi pribadi 

Di depan tempat penginapan, disediakan kolam buatan-tetapi-alami yang airnya diambil dari alisan sungai. Kolam ini diperuntukkan buat para anak-anak yang belum bisa berenang atau tidak berani bermain air di sungai. Mereka tetap bisa merasakan pengalaman sensasional bermain air.

Tempat penginapan dan kolam buatan untuk anak-anak. Dokumentasi pribadi 
Tempat penginapan dan kolam buatan untuk anak-anak. Dokumentasi pribadi 

Dari pengalaman saya menikmati DRC, terdapat beberapa catatan yang kiranya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait keberadaan sungai di lereng gunung untuk destinasi dan aktivitas pariwisata. 

Partisipasi dan Pemberdayaan Warga Lokal

Di tengah maraknya industri pariwisata berbasis eksotika alam yang mengutamakan pembangunan resort atau destinasi eksklusif yang hanya bisa dinikmati orang-orang berduit, kehadiran wisata alam berbiaya murah seperti DRC merupakan alternatif bagi banyak warga masyarakat Jember ataupun pengunjung dari daerah lain. 

Perpaduan batu, air bening, suara ritmis, dan pemandangan pegunungan. Dokumentasi pribadi 
Perpaduan batu, air bening, suara ritmis, dan pemandangan pegunungan. Dokumentasi pribadi 

Ini menegaskan bahwa pariwisata alam sudah sepatutnya mampu menjangkau masyarakat luas. Mereka memiliki hak untuk berbahagia dengan menikmati keindahan pemandangan dan sejuknya udara pegunungan. Konsep "tuan rumah di negeri sendiri" bisa diprioritaskan dalam pengembangan pariwisata di wilayah lokal. 

Ketika industri pariwisata hanya memberi keleluasaan kepada para pengusaha kaya untuk membangun resort, bungalow, atau hotel bernuansa alam yang mahal, bisa diipastikan praktik pariwisata menghadirkan segregasi sosial berkelanjutan karena warga dengan kemampuan ekonomi terbatas tidak mampu menikmatinya. 

Padahal kawasan alam yang menjadi tempat resort dan destinasi tersebut dibuat dekat dengan tempat tinggal atau secara administratif berada di wilayah mereka. Ini yang disebut ironi yang sebenarnya, ketika warga lokal tidak bisa menikmati sungai bening dari gunung karena hak kelolah diberikan kepada pengusaha yang memasang tarif mahal.

Bebatuan gunung warna-warni. Dokumentasi pribadi 
Bebatuan gunung warna-warni. Dokumentasi pribadi 

Saya tidak menolak keberadaan para penguasaha pariwisata. Alih-alih, saya berharap semakin banyak pengusaha pariwisata yang mampu mendesain dan membangun destinasi wisata alam dengan harga terjangkau. Artinya, mereka tetap bisa mendapatkan keuntungan sekaligus memungkinkan warga bisa menikmati aktivitas wisata yang relatif murah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun