Salah satu alasan yang dikemukakan adalah tim kreatif ingin mempersembahkan pertunjukan yang mengusung “energi kepahlawanan dan perjuangan perempuan” dalam menghadapi kekuatan dominan-eksploitatif.
Pilihan tersebut berimplikasi kepada sajian pertunjukan yang lebih mengutamakan gerakan dramatik dan tari berwarna dengan iringan musik gamelan Banyuwangi yang rancak, dinamis, dan penuh semangat. Dari sekian banyak adegan, menurut saya ada beberapa adegan yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Pertama, ketika Sayu Wiwit dalam adegan pertama melakukan gerakan tari, memimpin prajurit laki-laki untuk bertempur melawan tentara kolonial.
Sejak awal pertunjukan ini sejatinya berusaha mengajak penonton untuk menempatkan Sayu Wiwit, perempuan pejuang sebagai subjek yang tidak mau hanya diam di tengah-tengah gejolak perlawanan para pemimpin, prajurit, dan rakyat Blambangan. Bagi Sayu Wiwit, perempuan bukan hanya subjek yang harus merawat tubuh dan menjaga perilakunya dengan kelemah-lembutan.
Gerakan tari gagah serta pilihan pakaian prajurit dan senjata keris yang ia pegang dan mainkan mengkonstruksi sosok yang berani mengambil keputusan. Alih-alih, menikmati semua kemapanan yang ia dapatkan sebagai penguasa di kawasan Raung, Sayu Wiwit berani membuat keputusan yang melibatkan dirinya dalam perang semesta Blambangan.
Pilihan ini tentu rasional karena kalaupun ia memilih tidak ikut berperang, tidak ada jaminan kalau Belanda tidak akan menguasai wilayahnya. Maka, dengan gagah berani, bermodal kekuatan prajurit dan kepemimpinan kharismatiknya, Sayu Wiwit bertarung melawan tentara penjajah yang mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat di ujung timur Jawa.
Ketika usaha pertama belum berhasil, maka Sayu Wiwit dan para pemimpin lainnya tidak putus asa. Mereka tetap berusaha untuk memperkuat pasukan dan membangun kesadaran rakyat agar tidak berpangku tangan dalam perjuangan melawan penjajah.
Sebuah adegan menghadirkan Sayu Wiwit dan beberapa prajurit perempuan menari bersama dengan riang gembira sembari mengacungkan senjata mereka. Saya membaca adegan ini sebagai proses untuk mematangkan dan memperkuat kemampuan prajurit perempuan Blambangan yang terlibat aktif dalam peperangan.
Saya belum menemukan data historis terkait keberadaan prajurit perempuan di bawah kepemimpinan Sayu Wiwit. Kalaupun mereka tidak pernah ada dalam sejarah perjuangan Blambangan, tidak menjadi masalah karena pertunjukan sendratari ini merupakan karya kreatif yang berangkat dari tafsir teks sejarah.