Masyarakat pun seolah tanpa sekat; mereka biasa mengitari arena pertunjukan reyog tanpa panggung sehingga interaksi antara penonton dan penari seringkali terjadi. Karakteristik itulah yang menjadikan reyog rakyat benar-benar bisa membaur dengan para penikmatnya; tanpa harus mengikuti aturan dan pakem yang membatasi interaksi reyog dengan publik penikmatnya sebagai pewaris pasif.
Pembakuan pakem dan pengetatan aturan koreografis, jelas sekali, menjadi kekuatan ideologis yang tidak memberikan peluang berlangsungnya “keliaran” selama pertunjukan berlangsung. Meskipun demikian, pemerintah kabupaten secara resmi tetap memosisikan FNRP sebagai kekuatan strategis yang berkontribusi terhadap pelestarian budaya lokal dan budaya bangsa serta mendatangkan keuntungan ekonomi.
Kalau diperhatikan lebih kritis lagi, Pemkab Ponorogo pascareformasi sebenarnya masih menggunakan tujuan ideal rezim Orde Baru dalam menjalankan kebijakan budaya terkait reyog.
Dalam buku panduan FNRP 2017, misalnya, disebutkan beberapa tujuan penyelenggaraannya. Pertama, sebagai salah satu usaha untuk melestarikan dan mempromosikan reyog sebagai kasanah budaya yang mendukung budaya nasional di tengah-tengah globalisasi dan modernisasi.
Kedua, meningkatkan fungsi seni daerah sebagai penangkal masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai adiluhung bangsa Indonesia. Ketiga, mengembangkan kreativitas seniman dalam menciptakan karya seni yang lebih bermutu. Keempat, menciptakan dampak positif bagi masyarakat Ponorogo melalui aktivitas festival yang menopang industri pariwisata.
Kalau kita komparasikan dengan kebijakan budaya rezim Orde Baru, maka titik temunya adalah pada pelestarian, budaya bangsa, dan pariwisata. Sekali lagi, hal ini menegaskan betapa pengaruh hegemonik kebijakan budaya di era Suharto masih begitu kuat hingga saat ini. Apa yang tampak kemudian adalah kurangnya kreativitas dalam kebijakan budaya.
Sebagian akademisi ikut mengkampanyekan wacana-wacana ideal terkait penyelenggaraan FNRP sebagaimana dikonstruksi oleh pemerintah kabupaten. Artinya, para akademisi cenderung merepetisi dan mereproduksi formasi wacana yang mendukung penyelenggaraan FNRP dengan menekankan tujuan-tujuan kulturalnya.
Muryono (2007: 168), misalnya, mengatakan bahwa reyog kemasan merupakan salah satu atraksi wisata seni dalam upaya pelestarian budaya dan sebagai penopang pengembangan bidang pariwisata. Dengan sangat gamblang, konstruksi diskursif tersebut menegaskan reyog yang dikemas dalam ajang festival secara ideal diposisikan sebagai bentuk pelestarian budaya tradisional dan kekuatan penting dalam industri pariwisata.
Dengan nada serupa Rismayanti et.al (2017: 3772) berargumen bahwa makna-makna simbolik dalam pertunjukan reyog dalam FNRP bisa digunakan untuk materi pendidikan karakter bagi siswa. Pendidikan karakter itu terkait dengan religiusitas melalui gamelan. Kerja keras, demokrasi, nasionalisme, kedamaian, dan tanggung jawab diajarkan melalui bermacam gerak tari dan perlengkapan yang dibutuhkan selama pertunjukan reyog.
Dalam argumen yang meyakinkan, Achmadi (2014: 20-21) mengungkapkan bahwa nilai-nilai kesenian reyog dapat berkontribusi terhadap penegakan empat pilar berbangsa (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI) dan bernegara melalui nilai patriotisme yang terungkap dalam diri warok.