Maka, perangkat alat musik ditiadakan, begitupula wanita pelantun tembang. Peniadaan ini merupakan siasat menghadapi keterbatasan. Apa yang dipertahankan adalah pepujian dan doa serta para penari lelaki sebagai komponen inti dalam Sandur.
Karena telah terjadi perubahan dalam bentuk pertunjukan yang membedakannya dari yang berkembang di kawasan Sumenep dan Sampang, saya lebih senang menyebutnya Sandur Klungkung. Kata Klungkung, tentu merujuk pada nama desa tempat dilakukannya ritual ini.
Selain itu, kata Klungkung menegaskan bahwa pertunjukan Sandur yang digelar pelaku dan masyarakat memiliki perbedaan sebagai siasat transformatif yang dilakukan para pendahulu dari Madura dan diwariskan secara turun-temurun, sampai dengan generasi terkini.
Kalau kemudian para pelaku menamainya Sandorelang/Sandurelang, itu tidak lepas dari upaya mereka untuk memberikan identitas terhadap seni ritual yang mereka lakukan secara turun-temurun tersebut. Penamaan tersebut berasal dari lirik sandurelang dalam pepujian dalam ritual yang menandakan kekuasaan Tuhan yang menghilangkan tokoh Sandur dari kejaran Kafir.Â
Ini tentu tidak perlu dipermasalahan, apalagi disalahkan. Melalui pendampingan dari Alit Indonesia, para pelaku dan tokoh masyarakat melakukan diskusi mendalam terkait nama apa yang sesuai, karena leluhur mereka bisa jadi tidak memberikan nama. Karena yang terpenting adalah mereka meyakini ritual tersebut bisa menjadi tradisi untuk mencegah malapetaka.Â
Sekali lagi, pemberian nama Sandurelang/Sandorelang, tidak perlu dipermasalahkan, apalagi makna dalam lirik tersebut merupakan inti dari pertunjukan Sandur untuk ritual.
Apa yang patut kita apresiasi dari Sandur Klungkung adalah keteguhan para pelaku dan warga masyarakat untuk terus mempertahankan dan menjalankannya dari generasi ke generasi. Tentu bukan persoalan mudah untuk melakoni Sandur di tengah-tengah kuatnya dakwah agama di masyarakat Madura serta pengaruh hegemonik budaya modern.Â
Bagi pihak-pihak yang fanatik terhadap ajaran agama, kehadiran ritual di buju' dengan sesajen dan pepujian yang mereka tembangkan bisa menghadirkan pemahaman stigmatik.
Kehadiran ratusan warga, laki-laki dan perempuan dari beragam usia, menandakan bahwa keyakinan mereka terhadap ritual Sandur tidak harus dipertentangkan dengan ajaran agama karena sama-sama bertujuan memanjatkan doa kepada Tuhan. Selain itu, mengormati para leluhur yang telah berkontribusi bagi kehidupan masyarakat merupakan praktik baik.