Bagi Bupati Anas, kekayaan budaya Banyuwangi harus dimanfaatkan secara transformatif dengan menjadikannnya karnaval yang bisa dipertontonkan kepada wisatawan domestik maupun internasional. Mobilisasi makna tradisional harus dimasukkan ke dalam format karnaval global yang spektakuler.Â
Apa yang terpenting adalah "membagikan" keunikan dan keberbedaan kesenian lokal yang sudah diformat dalam citarasa global melalui format karnaval, bukan lagi format aslinya.Â
Eksotisisme yang pada masa kolonial dikonstruksi dan disebarluaskan oleh para penulis, peneliti, dan aparat pemerintah kolonial untuk memperkuat proyek Orientalisme, di era ekonomi pasar bebas ditawarkan secara terbuka setelah dikemas-ulang oleh pemerintah di negara pascakolonial seperti Indonesia.
Untuk menormalisasi kepentingan ekonomi pasar pariwisata, rezim Anas memiliki beberapa argumen paradigmatik. Pertama, BEC mementingkan "eksplorasi konsep" dan "kekuatan tema" alih-alih mengeksploitasi tubuh, seperti karnaval di Brazil yang mengesploitasi tubuh wanita sebagai tontonan. Di sini ada wacana pentingnya pengetahuan untuk mengeksplorasi tampilan busana dari budaya lokal, sehingga tidak sekedar 'menjual' tubuh.Â
Kedua, rezim Anas memosisikan BEC dan acara-acara lain dalam B-Fest sebagai "investasi kebudayaan" yang mengidealisasi program wisata budaya berkontribusi terhadap penguatan budaya nasional dan memperkokoh kebangsaan.Â
Namun, sebenarnya, rezim Anas hanya memosisikan event wisata budaya sebagai sarana untuk menjual hasil komodifikasi neo-eksotis budaya Banyuwangi kepada masyarakat nasional dan internasional. Sementara, kegiatan sistemasis untuk melestarikan dan mengembangkan budaya etnis masih kurang.Â
Kalau kata "investasi" dimaknai sebagai mengalokasikan dana untuk mendapatkan keuntungan, apa yang dikatakan Bupati Anas memang benar, bahwa dengan menggelar bermacam event wisata budaya neo-eksotis, Pemkab Banyuwangi mendapatkan keuntungan berupa pemasukan dari sektor wisata.
Pertunjukan Spektakuler: Festivalisasi Seni Etnis
Upaya lain untuk memberdayakan budaya lokal di Banyuwangi adalah membuat acara spektakuler berbasis kesenian etnis dengan penampil dalam jumlah massif, sehingga menyuguhkan pesona visual yang eksotis. Salah satu acara yang digelar adalah Parade Gandrung Sewu atau yang sekarang berganti Festival Gandrung Sewu (FGS).Â
Acara ini tidak menghadirkan 1000 penari gandrung terob yang biasa menari dalam hajatan warga, alih-alih, 1000 lebih penari perempuan dan lelaki berusia remaja perwakilan SMP dan SMA se-Banyuwangi. Konsep utama yang diusung ini adalah kegiatan seolah-olah pelestarian di mana lebih dari 1000 siswa dilatih untuk menari gandrung sesuai dengan tema setiap tahunnya.Â