Selain itu, model neo-eksotisisme juga mempengaruhi pola pikir dan keterlibatan para pelaku budaya, seperti seniman, sehingga cara pandang ekonomi menjadi hegemonik.Â
Memang, model tersebut menghasilkan bermacam event semarak, dari kota hingga desa di Banyuwangi, tetapi perlu kiranya ditelaah dan dikritisi dampak yang sebenarnya terhadap pengembangan budaya lokal, apakah benar-benar menguntungkan para pelaku dan masyarakat ataukah hanya memberdayakan penguasa dan pengusaha.
Wisata Budaya dan Kepentingan
Secara positif wisata budaya diwacanakan bisa mengurangi kemiskinan (Anderson, 2015), mengkonservasi budaya (Yun & Zhang, 2015), mengembangkan ekonomi dan mendiversifikasi matapencaharian (Loukaitou-Sideris & Sourelli, 2012; Mbaiwa & Sakuze, 2009), dan memberdayakan komunitas pribumi (Wallace & Russell, 2004; Carr, et al, 2016).Â
Semua kebaikan tersebut bisa dicapai melalui pendekatan berbasis sumberdaya budaya dan berbasis pasar yang tepat (Peters, et al, 2011; Kastenholz, et al, 2013; Herrero-Prieto & Gmez-Vega, 2017; Mokoena, 2019), manajemen inovatif (Cetin & Bilginan, 2014; Martnez-Prez, et al, 2018), dan pemasaran kreatif (Pennington & Thomsen, 2010; Font & McCabe, 2017).Â
Namun, apa yang tidak bisa boleh diabaikan adalah kepentingan negara dalam menjalankan bermacam program wisata budaya untuk mewujudkan tujuan ekonomi. Kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara tentu akan menghasilkan devisa yang tidak sedikit dan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Kepentingan komunitas untuk menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah trend keseragaman global, di satu sisi, dan hasrat pemerintah untuk mengakumulasi keuntungan melalui industri pariwisata ya berbasis budaya lokal, di sisi lain, menjadi warna dari eksotika pascakolonial (Huggan, 2001).Â
Eksotisisme yang di masa lalu menjadi bagian Orientalisme untuk mendukung kekuasaan kolonial dengan cara men-stereotipisasi manusia dan budaya Timur (Said, 2003, 2004), di masa kini dipahami sebagai potensi ekonomi oleh pemerintah dan swasta melalui industri pariwisata dan industri budaya (Commarof & Commarof, 2009).Â
Maka, pelestarian budaya etnis penting untuk menyiapkan sumber kreatif bagi program wisata budaya. Selain secara ekonomis, pemerintah juga diuntungkan secara politis, karena etnisitas bisa memperkuat nasionalisme sebagai produk modernisme (Smith, 1998), tetapi tetap membutuhkan simbolisme dan mobilisasi kultural (Eriksen, 2010; Smith, 2009).
Ketika kapitalisme neoliberal diadopsi ke dalam sistem ekonomi-politik, kebijakan budaya pun ikut berubah. Secara ideal, kebijakan budaya bisa menjadi regulasi pemerintah bagi pemberdayaan budaya yang melibatkan partisipasi publik untuk menumbuhkan demokrasi kultural (Mulcahy, 2017; Hadley & Belfiore 2018; Belfiore 2016), memperkuat nilai budaya (Behr, et al, 2017; Walmsley 2018; Oman 2019; Manchester & Prett 2015; Oancea, et al, 2018), dan menyuburkan identitas nasional (Villarroya, 2012; Al-Zo'by, 2019).Â