Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Neo-Eksotisisme dalam Banyuwangi Festival

6 Juni 2023   14:57 Diperbarui: 11 Juni 2023   07:27 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi lemeng khas Desa Banjar, Kec. Licin. (FIRMAN ARIF/KOMPAS.com)

Itulah mengapa, pemerintah daerah diharapkan terus melakukan terobosan kreatif dalam memanfaatkan kesenian etnis sebagai materi wisata event budaya. 

Dengan demikian, pemerintah dan pihak swasta merupakan dua faksi yang akan mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar, meskipun pemerintah selalu berargumen sekaligus berdalih bahwa keuntungan itu dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Neo-eksotisisme memang menjadi rezim kebenaran yang membuat birokrat dan masyarakat mengusung konsep karnival dan festival dengan alasan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Mobilisasi wacana penguatan identitas lokal sekaligus peningkatan pendapatan seinman dan warga merupakan kombinasi diskursif yang selalu dikampanyekan. 

Namun, kalau dibandingkan dengan keuntungan para pemodal, keuntungan mereka tentu tidak sebanding. Para seniman dan warga masyarakat adalah subjek yang memang diarahkan untuk selalu berada dalam relasi subordinat dengan rezim penguasa sehingga mereka memilih untuk menunggu dan mengharap job dari acara-acara pemerintah. 

Kondisi ini bisa menjebak mereka dalam format berkesenian dalam rangka dengan produk-produk baku bernuansa neo-eksotis sesuai dengan keinginan pemerintah. 

Itulah mengapa, meskipun bagus digunakan untuk pengembangan berorientasi wisata budaya, formula neo-eksotisisme tidak akan berdampak besar kepada budaya lokal yang masih berorientasi pada pemertahanan pakem dan makna-makna luhur. 

Konsekuensinya adalah pemerintah dan swasta akan meningkatkan peran seniman dan warga yang bersepakat dengan formula neo-eksotis, sedangkan bagi mereka yang tidak bersepakat, berada di ruang marjinal adalah sebuah kepastian.

* Tulisan ini merupakan pengembangan dari makalah dalam Seminar Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta yang diterbitkan dalam Prosiding Kreativitas & Kebangsaan, Seni Menuju Paruh Abad XXI, Editor Mike Susanto, M. Kholid A.R. & Zulisih M., hlm. 445-463. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta. 

Daftar Bacaan

Al-Zo'by, M. 2019. "Culture and the politics of sustainable development in the GCC: identity between heritage and globalization." Development in Practice. doi: http://doi.org/10.1080/09614524.2019.1602110.

Anderson, W. 2015. "Cultural tourism and poverty alleviation in rural Kilimanjaro, Tanzania." Journal of Tourism and Cultural Change, 13(3): 208--224.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun