Namun demikian, dalam perspektif politik, globalisasi juga akan mencapai “tatanan dunia baru” yang ditandai dengan munculnya kerjasama internasional yang lebih baru di antara negara-negara yang berorientasi demokrasi dalam pemerintahan sebagai produk “demokratisasi globalisasi” dan “globalisasi demokrasi” yang diidealisasi sebagai solusi dalam memulihkan berbagai masalah yang dialami masing-masing negara (Gills, 2002: 164-171).
Isu paling kompleks berikutnya tentang globalisasi datang dari sudut pandang budaya/media. Seiring dengan berkembangnya globalisasi di bidang ekonomi dan politik, perkembangan budaya secara global umumnya dianggap homogen.
Sebagian besar negara sekarang mengadaptasi dan mentransformasikan produk industri-budaya modern dari negara-negara maju dengan korporasi medianya ke dalam produk budaya di tingkat nasional.
Dalam konteks ini, “kebudayaan global”, atau dalam istilah lain dapat disebut “kebudayaan dunia” adalah kondisi kebudayaan kontemporer di mana orang-orang di seluruh dunia memiliki kecenderungan dan preferensi yang sama dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi produk-produk budaya yang berasal dari negara maju serta lebih menguntungkan media-kapitalis dan mengarah pada imperialisme budaya.
Tesis imperialisme budaya menyatakan bahwa aliran produk dan layanan media satu arah dari negara-negara industri maju ke negara-negara Dunia Ketiga merusak budaya, moral, dan nilai-nilai nasional mereka. Pendukung tesis ini melihat ketidakseimbangan arus budaya global sebagai perpanjangan dari struktur dominasi dan subordinasi, yang sudah terlihat jelas di bidang politik dan ekonomi.
Argumen sentral dari tesis imperialisme budaya adalah bahwa dominasi budaya negara-negara maju dibangun dan diperkuat lewa penyebarannya melalui media massa dan banyak situs hiburan. Oleh karena itu, terciptalah penyesuaian budaya di tingkat nasional dengan budaya dominan dari negara-negara maju.
Proses ini mengarah pada perusakan, penggantian, dan, bahkan, hilangnya budaya asli negara penerima. Globalisasi adalah sejauh mana budaya di seluruh dunia menjadi serupa. Oleh karena itu, globalisasi seperti itu dilihat sebagai sesuatu yang sejalan dengan sejarah imperialisme Barat.
Di bidang budaya, globalisasi ini mengarah pada meningkatnya hegemoni budaya sentral tertentu yang membawa semua budaya lain ke dalam ruang lingkupnya melalui difusi nilai-nilai tertentu, barang konsumsi dan gaya hidup (Banerjee, 2002: 519-520).
Dengan nada berbeda, Holton (2002: 140-152) mengemukakan tiga tesis tentang konsekuensi budaya dari globalisasi: homogenisasi, polarisasi, dan hibridisasi. Standardisasi budaya global seputar pola Barat atau Amerika menjadi sentral tesis homogenisasi. Memang, beberapa bukti mendukung pandangan ini, kehadiran budaya alternatif dan penolakan terhadap norma-norma Barat menunjukkan bahwa polarisasi memberikan gambaran yang lebih meyakinkan tentang perkembangan budaya global.
Interkoneksi global dan saling ketergantungan tidak selalu berarti kesamaan budaya. Budaya, tampaknya, lebih sulit untuk dibakukan daripada organisasi ekonomi dan teknologi. Tesis hibridisasi berpendapat bahwa budaya meminjam dan memasukkan unsur-unsur satu sama lain, menciptakan bentuk-bentuk hibrid.
Dari tesis polarisasi dan hibridisasi, beberapa pemikir mengeksplorasi perspektif baru tentang hubungan dinamis antara budaya industri Barat dan budaya lokal yang disebut sebagai glokalisasi. Ahli teori glokalisasi biasanya menantang asumsi bahwa proses globalisasi selalu membahayakan lokal.