Untuk membahas persoalan tersebut, saya akan menggunakan pendekatan poskolonial yang sudah dimaknai-ulang untuk melakukan pembahasan berorientasi konseptual-teoretis dengan sedikit contoh implikasi metodologisnya.Â
Artinya, pendekatan poskolonial yang biasa digunakan untuk membongkar beroperasinya kuasa Barat/modern terhadap masyarakat pascakolonial dan hibriditas kultural akan digunakan untuk melihat bagaimana praktik diskursif dalam struktur naratif sastra membentuk subjek tokoh maupun subjek persoalan yang `mencairkan’ kuasa budaya dan negara dalam latar waktu pascakolonial.Â
Dengan cara itu pula, saya akan memberikan kritik terhadap kemapanan pendekatan poskolonial sebagaimana yang digunakan selama ini dalam ranah kajian sastra.Â
Narasi Sastra dari Ruang-Antara Kajian PascakolonialÂ
Kajian pascakolonial dengan konsep teoretis keberantaraan, kegandaan, ambivalensi, mimikri, pengejekan, dan hibriditas bisa menghadirkan analisis sastra yangkaya dan kritis. Kalau dalam Orientalism (1978), Edward Said melihat posisi subjek terjajah sebagai Iiyan yang dianggit (constructed) pleh para satrawan Eropa sebagai orang-orang terbelakang, tak berpendidikan, mistis, dan eksotis sehingga membentuk cara pandang stereotip metropolitan terhadap masyarakat dan wilayah jajahan, Bhabha memiliki cara lain.Â
Ia melihat subjek terjajah dan pascakolonial sebagai manusia-manusia yang bisa bersiasat dengan melakukan peniruan terhadap budaya modern, tetapi tidak sepenuhnya; sekaligus menjadi pengejekan terhadap kuasa kolonial karena mereka masih mempraktikkan sebagian nilai lokal sembari mengembangkan budaya modern (Bhabha, 1994: 86).Â
Artinya, oposisi biner yang menganggit subjek terjajah dan pascakolonial sebagai liyan disubversi melalui kemampuan meniru yang modern, tanpa kehilangan yang tradisional. Pun yang modern tidak diyakini dan diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan karena akan bertentangan dengan nilai-nilai komunal.
Dalam kondisi subjektivitas yang tidak terpusat, budaya masyarakat kolonial dan pascakolonial menjadi hibrid. Apa yang harus dipahami bahwa hibriditas kultural yang berlangsung bukan sekadar percampuran antara yang modern dan yang tradisonal, melainkan juga ia memiliki kemampuan subversif untuk mengganggu kuasa dominan.Â
Bhabha ( 1994: 112—115), lebih lanjut, menjelaskan bahwa hibriditas merupakan pemaknaan kembali dari asumsi identitas kolonial melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris.Â
Praktik diskriminatif kolonial yang memosisikan subjek terjajah sebagai yang berbeda dari subjektivitas penjajah karena perbedaan biner yang berlangsung mendapatkan gangguan dari praktik peniruan yang menghasilkan hibriditas.Â
Akibatnya, kuasa kolonial berbasis diskriminasi dan oposisi biner memang tetap berlangsung, tetapi mendapatkan subversi dari subjektivitas terjajah yang menjadi cair dengan kemampuan meniru sebagian yang modern, tanpa meninggalkan sepenuhnya yang tradisional.