Mereka, selain membawa cita-cita individual, tetap tidak akan melupakan cita-cita kebangsaan Indonesia, menegakkan “merah ptuih” dan menerbangkan “garuda” setinggi mungkin.
Maka, dalam Garuda di Dadaku, neoliberalisme adalah sebuah praktik diskursif yang tidak harus ditakuti ataupun dimusuhi karena realitasnya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara akan merasakan keuntungan ketika setiap individu diberi kebebasan untuk mengembangan diri dan mewujudkan cita-citanya.
Simpulan
Ketika neoliberalisme dengan segala formasi diskursifnya dalam praktik kepemerintahan dan kehidupan sehari-hari masyarakat, kajian pascakolonial perlu memberikan penekanan lebih kritis kepada struktur naratif sastra.
Kajian pascakolonial dengan konsep hibriditas dan subjektivitas cairnya, sudah semestinya memasukkan pertimbangan ekonomi-politik karena formasi sosial-budaya yang menjadi latar bagi lahirnya karya sastra tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa neoliberalisme telah menjadi hegemoni baru, menggantikan hegemoni negara dalam banyak hal.
Analisis, seperti sudah saya contohkan secara sederhana, tidak bisa lagi memosisikan sang Barat sebagai kategori geopolitik, tetapi bagaimana memosisikannya sebagai sebuah formasi diskursif yang mewujud dalam bentuk wacana-wacana tentang kebebasan individual dalam mekanisme pasar dan budaya korporasi.
Wacana-wacana tersebut tengah membentuk subjek-subjek diskursif, termasuk pengarang dan tokoh naratif rekaannya, yang terhubung secara wajar dengan idealisasi-idealisasi neoliberal dalam memandang budaya dan negara. Apalagi, rezim negara dalam banyak aspek juga tengah mengadopsi konsep neoliberal sebagai kerangka kebijakan.
Maka, kalau konsep “kolonial” dalam pascakolonialisme dianggap masih menyisakan “efek-efek diskursif” dalam kehidupan kontemporer masyarakat Indonesia pascakolonialn ia harus didenkonstruksi bukan lagi sebagai entitas Barat seacar an sich, tetapi Barat yang sudah bertranformasi dalam wujud hukum-hukum pasar yang diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat dan negara.
Sebagai kajian eksploratif berorientasi konseptual-teoretis dengan sedikit contoh implikasi metodologisnya, tulisan ini memang masih membutuhkan pendalaman dan elaborasi terkait keberantaraan, ambivalensi, dan hibriditas kultutal dalam struktur naratif sastra, khususnya terkait latar kondisi sosio-historis penerapan neloliberalisme.
Tentu saja, masih banyak kompleksitas persoalan ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang dihadirkan dalam narasi sastra dan membutuhkan kejelian dan kekritisan seorang pengkaji yang memilih untuk menggunakan perspektif poskolonial.
Ketika perspektif ini menekankan pada subjektivitas yang cair melalui kehadiran tokoh-tokoh naratif yang mendekonstruksi kemapanan relasi oposisi biner, maka pascakolonialisme juga bisa diposisikan secara cair sebagai sebuah alat analisis. Dalam artian, bahwa ia sangat terbuka terhadap hadirnya pembacaan-pembacaan baru yang disesuaikan dengan konteks zaman.