Sekali lagi, neoliberalisme sebagai ideologi ekonomi-politik dan formasi diskursif yang sangat cair dalam mengakomodasi budaya lokal, negara, maupun keinginan individual merupakan sebuah bentangan dan tantangan baru yang harus terus diskritisi, bahkan dari titik-pandang kehidupan yang sangat personal dari tokoh naratif.
Pascakolonialisme sebagai perspektif memberikan peluang untuk melakukan hal itu, sekaligus memberikan peluang kepada para pangkaji untuk memodifikasinya secara terus-menerus sehingga ia akan bersifat dinamis dan tidak gagap dalam memahami formasi diskursif neoliberal.
Daftar Bacaan
Aristo, Salman, 2009. Garuda di Dadaku. Bandung: DAR! Mizan.
Bhabha, Hommi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bhabha, Hommi & John Camaroff. 2002. “Speaking of Postcoloniality, in the Continues Present: A Conversation.” Dalam David T. Goldberg & Ato Quayson (Eds). Relocating Postcolonialism. Victoria: Blackwell Publishing: hlm. 15—46.
Carroll, William K. & Colin Carson. 2006. “Neoliberalism, capitalist class formation and the global network of corporations and policy groups.” Dalam Dieter Plehwe, Bernhard Walpen & Gisela Neunhöffer (Eds). Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London: Routledge.
El Khalieqy, Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Surban. Yogyakarta: Penerbit Arti Bumi Intaran.
England, Kim & Kevin Ward (eds). 2007. Neoliberalization: States, Networks and Peoples. Oxford: Blackwell Publishing.
Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. New york: Oxford University Press.
Hindess, Barry. 2004. “Liberalism – what’s in a name?” Dalam Wendy Larner & William Walters (Eds). Global governmentality: Governing International spaces. London. Routledge: hlm. 23—39.