Apakah subjektivitas otonomi selaras dengan ide-ide Jawa tentang penguasa dan kawula yang sudah menyebar selama berabad-abad melalui tradisi lisan dan dibentuk kembali dalam terbitan-terbitan filologis teks Jawa kuno?Â
Soetatmo Soeriokoesoemo, salah satu pendukung nasionalisme Jawa, pada 1920 memaparkan bahwa konsep Eropa tentang kesamaan tidak selaras dengan pandangan dunia Jawa. Dia bisa menerima ide persaudaraan dalam nasionalisme, namun kesamaan menurutnya berbahaya bagi masa depan kelas priyayi Jawa. Menurutnya warisan masa lampau sangat sesuai untuk membangun masa depan negara Jawa (Sears, 2005: 335-336).
Modernitas yang tidak bisa dilepaskan dari praktik kolonialisme, nyatanya, tidak pernah dihadirkan dalam buku-buku PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). PSPB hanya menjadi narasi dari perjuangan pahlawan-pahlawan lokal untuk melawan kekejaman penjajah dan perjuangan elit-elit politik didikan Belanda dalam memerdekakan Hindia-Belanda.Â
Semangat nasionalisme anti-penjajah yang digelorakan oleh para pemimpin politik negeri ini di bawah rezim Soekarno dan dilanjutkan oleh rezim Orde Baru Soeharto selalu menuduh penjajah sebagai penyebab berbagai permasalahan hidup yang dialami oleh masyarakat Indonesia.Â
Gandhi (1998:104-105), mengelaborasi beberapa sumber, menjelaskan bahwa nasionalisme yang demikian memang berbeda dengan nasionalisme yang tumbuh di negara industri Eropa. Nasionalisme modern lahir karena kompleksitas masyarakat industrial Eropa Barat yang membutuhkan tenaga kerja dan pemerintahan yang lebih homogen dan kooperatif.Â
Masyarakat industrial melahirkan kondisi-kondisi ekonomi bagi terciptanya kesadaran nasional yang dikonsolidasikan secara politis melalui negara-bangsa. Lahirinya nasionalisme sejalan dengan melemahnya sistem keyakinan lama dalam bentuk kerajaan, komunitas religius, bahasa suci/tinggi, dan kesadaran kosmologis.Â
Bangsa dan nasionalisme merupakan produk dari imajinasi modern melalui novel maupun surat kabar; komunitas yang terbayangkan. Jadi, bangsa dan nasionalisme merupakan proses yang terus menjadi.Â
Dalam konteks masyarakat Hindia-Belanda, masyarakat-terjajah di Jawa, misalnya, tidak akan bisa membayangkan kehidupan masyarakat-terjajah di Sumatera dan Borneo tanpa membaca berita di koran-koran berbahasa Melayu-rendah.Â
Bayangan itulah yang membentuk solidaritas dan perasaan senasib sebagai masyarakat-terjajah, sehingga melahirkan sentimen kebangsaan sebagai akar nasionalisme anti-penjajah.
Padahal, tanpa kehadiran kolonialisme, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara belum tentu ada (Budiawan, 2010). Nasionalisme anti- penjajah pada masa Soekarno ternyata tidak mampu mewujudkan cita-cita kolektif untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat karena elit-elit sipil dan militer sibuk bertikai.Â
Yang saya tangkap ketika duduk di bangku SD adalah bahwa kemajuan hidup yang dirasakan masyarakat kota dan desa merupakan prestasi kebijakan pembangunan di bawah kepemimpinan Soeharto yang menggantikan Soekarno setelah tragedi berdarah 1965.Â