Cara mereka memaknai, memandang, dan mengalami jagat sosial dan kultural mereka tidak akan lepas dari batasan alur cerita yang berkembang dalam narasi budaya, baik yang dihadirkan narasi kota atau narasi desa. Maka, masyarakat desa menjadi subjek yang hidup dalam keberantaraan kultural, tidak hanya dalam hal praksis tetapi juga orientasi hidup.
Paling tidak, keberantaraan kultural tersebut masih menjadikan masyarakat meyakini dan menjalankan sebagian nilai dan praktik tradisional, meskipun sebagian yang lain sudah hilang dari ruang kultural desa.
Mekipun, masyarakat desa masih bisa memainkan keberantaraan kultural, modernitas dan rezim pembangunan Orde Baru telah memasukkan mereka ke dalam relasi ketergantungan dengan jagat-luar- desa, yakni kota.
Masyarakat memang tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang kapitalisme, tetapi mereka harus membiasakan diri dengan harga padi dan beras yang sangat tergantung kepada Bulog dan permintaan pasar. Mereka juga semakin terbiasa dengan pupuk dan pestisida. Anak- anak dan kaum remaja semakin nyaman dengan pakaian-pakaian modern dari kota.
Sepeda motor menjadi impian masyarakat. Artinya, dalam bentuk yang sangat se- derhana, kapitalisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat desa, karena ia bukan lagi ideologi yang harus ditakuti. Kapitalisme bertransformasi sebagai nilai dan mekanisme yang bisa membimbing masyarakat desa mewujudkan impian-impian sederhana tentang menjadi modern.
Kapitalisme dan modernitas itulah yang terus mereproduksi endapan-endapan ideologis terhadap Barat (oksidentalisme)[vi] dalam benak masyarakat desa, meskipun jarak mereka dengan negara-negara Barat sangatlah jauh. Barat tidak perlu hadir sebagai institusi, tetapi hadir sebagai nilai dan mekanisme yang terus menggerakkan masyarakat.
Tidak bisa disangkal lagi, masuknya masyarakat desa ke dalam jejaring mo- dernitas, meskipun tidak sepenuhnya, adalah kontribusi terbesar rezim Orba. Bagaimanapun juga, TVRI, percepatan industri, Revolusi Hijau, pengaspalan jalan, listrik, dan “Keluarga Budi”, berhasil menggerakkan masyarakat menuju modernitas.
Pilihan ekonomi- politik pembangunanisme dengan mengedepankan percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan industri dan pertanian, serta stabilitas keamanan dan integrasi, menyebabkan pergeseran atau perubahan orientasi dan praktik sosio- kultural desa. TVRI menjadi situs yang memudahkan masyarkat desa bersentuhan dengan pembangunan dan modernitas dalam arahan rezim negara.
Percepatan industri di kota membutuhkan perluasan pasar sampai ke tingkat desa. Revolusi Hijau menjadi senjata andalan untuk bisa mempercepat laju perkembangan masyarakat desa dengan sistem pertanian modern.
Pengaspalan jalan mempertinggi mobilitas masyarakat desa ke kota, sehingga mempermudah mereka untuk mendapatkan benda-benda modern dari kota kabupaten atau kecamatan. Kesempatan memperoleh pendidikan, paling tidak sampai ke tingkat dasar dan menengah/SMP-SMA, menjadikan pikiran-pikiran modern bersemi dalam pikiran generasi muda desa.
Kesadaran masyarakat desa untuk tetap mempraktikkan sebagian kearifan lokal, meskipun mereka menjalankan sebagian budaya modern, menunjukkan bahwa mereka berhasil mengganggu kuasa-hegemonik modernitas. Namun, kondisi tersebut ternyata bersifat koinsiden dengan kepentingan rezim untuk meredam potensi kritis dan subversif masyarakat desa.