Wacana Barat masih kuat dalam pikiran masyarakat pascakolonial sebagai figur imajiner yang terus diidealisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari, praktik bernegara, media, maupun dalam ranah pengetahuan (Venn, 2000; Chakrabarty, 2000).
Akibat kuatnya, pengaruh Barat, sebagian nilai dan praktik tradisional yang dianggap menyesatkan, perlahan-lahan akan terpinggirkan oleh nalar modern yang membebaskan individu untuk berjuang mencapai kemajuan hidup. Maka, lokalitas masyarakat desa menjadi semakin kompleks dan tidak bisa lagi dibaca secara esensialis.
Terlepas dari kontradiksi antara kesederhanaan dan keruwetan yang ada, menjadi modern bagi masyarakat Indonesia bukanlah proses yang tiba-tiba. Modernitas yang masuk ke negeri ini melibatkan sejarah panjang sebuah kontradiksi; misi pemeradaban dan penjajahan.
Manusia-manusia Eropa yang mengaku sangat rasional, berpendidikan, berbudaya, dan beradab berusaha menguji kebenaran universal dari konsep filosofis, “aku berpikir maka aku ada” sebagai basis proyek modernitas menuju belahan-belahan bumi lain, termasuk Nusantara.
Setidaknya, terdapat sepuluh elemen Pencerahan berbasis "aku berpikir maka aku ada" yang melahirkan modernitas, yakni: nalar dan rasionalitas, empirisme, pengetahuan, universalisme, kemajuan, individualisme, toleransi, kebebasan, kesamaan umat manusia, dan sekulerisme.
Tujuan dari semua konsep tersebut adalah individualisme yang mengedepankan kebebasan individu yang terbebas dari otoritas kuasa tradisional dan agama, sehingga ia bisa mengembangkan diri berbasis pengetahuan untuk memperoleh kemajuan. Kemajuan individu menjadikan toleransi bisa berkembang, sehingga memunculkan kesamaan antarmanusia meskipun sulit terwujud (McGuigan, 1999:40-41; Venn, 2006:55-56).
Manusia Eropa Barat mewacanakan diri sebagai makhluk superior sementara manusia pribumi distereotipisasi sebagai liyan yang tidak beradab, kanibal, tidak berpendidikan, tidak beragama, tidak berbudaya, tidak berbahasa, barbar, eksotis, penuh takhayul, dan lain-lain (Said, 1978, 1994; Slemon, 1995; Bishop, 1995; Kachru, 1995; C lestin, 1996; Lidchi, 1997; Loomba, 2000:57-58; Weaver-Hightower, 2007; Mrazek, 2006:147; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998).
Realitasnya, misi pemeradaban tersebut digunakan sebagai senjata untuk menaklukkan dan menguasai sumber daya alam wilayah taklukkan ketika revolusi industri membutuhkan ketersediaan bahan mentah. Penaklukkan dan penguasaan inilah yang melahirkan kolonialisme.
Kolonialisme merupakan kombinasi sistem dan praktik politik, militer, ekonomi, dan kultural (pendidikan/pengetahuan, agama, dan budaya) untuk menaklukkan dan mengeksploitasi sebuah wilayah beserta potensi sumberdaya alam dan masyarakatnya. Penjajah mengembangkan matrik kuasa kolonial sebagai mekanisme untuk memperkuat posisi mereka beserta modernitas dan kapitalisme (Gillen & Ghosh, 2007: 14; Tlostanova, 2008: 110-111).
Pertama, pada level ekonomi, penguasaan tanah dan eksploitasi buruh/petani yang diorientasikan untuk memproduksi komoditas sesuai permintaan pasar global. Kedua, institusi negara penjajah dan agama (Kristen) yang didirikan untuk mengontrol kekuasaan, sehingga kuasa politik dan agama tradisional dipinggirkan.