Pengantar
Sebagai sebuah realitas kultural, masyarakat pascakolonial di era globalisasi memang tidak mungkin kembali ke dalam kehidupan purba, ketika teknologi aksara dan mesin belum muncul, ketika teknologi lisan masih menjadi raja bagi kehidupan budaya.Â
Mereka adalah masyarakat yang setiap hari mendapatkan dan menikmati produk-produk budaya global dalam aktivitas sosio-kultural, di samping keinginan untuk tetap menjalankan budaya lokal mereka. Ketika mereka menjalani kehidupan sebagai sang hibrid, sangat mungkin muncul operasi kuasa dan potensi politik, baik yang sadari atau tidak.Â
Operasi kuasa di balik sang hibrid bisa jadi digunakan pihak Barat untuk terus menanamkan pengaruh diskursif kultural mereka ke dalam kehidupan kultural masyarakat lokal, melalui hegemoni yang tidak kentara sebagai kuasa karena ada kesepakatan-kesepakatan dari pihak lokal untuk menganggap dan memposisikannya sebagai rezim kebenaran.Â
Meskipun masyarakat lokal masih mampu menegosiasikan gagasan dan praktik kultural mereka, namun sebagian praktik tersebut sudah dipengaruhi oleh produk-produk budaya global yang sangat Barat.Â
Di sisi lain, dengan menjadi sang hibrid, masyarakat lokal sangat mungkin bisa melakukan politik untuk terus menegosiasikan gagasan, praktik, dan makna kultural mereka di tengah-tengah budaya global, meskipun akan kehilangan sebagian dari budaya yang ada.Â
Dengan demikian mereka akan terus bisa berkontestasi di ruang antara sebagai strategi survival, di mana budaya global tidak bisa sepenuhnya menaklukkan mereka karena keliatan strategi hibrid yang dijalankan.
Hibriditas Budaya dan HegemoniÂ
Salah satu kekhawatiran besar akibat membanjirnya produk-produk Barat melalui mesin ekonomi dan perdagangan yang dibawa globalisasi adalah semakin kuatnya pengaruh diskursif budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat lokal.Â
Budaya lokal dibayangkan akan semakin tergerus akibat masyarakat lebih memilih dan menyukai budaya Barat dan turunan-turunannya dalam konteks nasional yang bersifat lebih dinamis dan modern. Hal itu diperparah dengan ketidakberpihakan aparat birokrat dalam membela kepentingan dan eksistensi budaya lokal.Â