Hibridisasi kultural yang dialami etnis tertentu, pada dasarnya, juga melibatkan proses, hegemoni elemen-elemen budaya dominan, resistensi terhadap budaya asal, ataupun strategis politis terus menegosiasikan budaya mereka dalam ruang transformatif masyarakat.Â
Realitas tersebut menjadikan kehidupan sosio-kultural dalam ruang lokal semakin beragam dan tidak bisa lagi semata-mata ‘dibedah’ dari sudut pandang identitas budaya asal.
Simpulan: Menentukan Sikap KulturalÂ
Kompleksitas ‘campuraduk’ kultural yang menjadi warna kontemporer budaya masyarakat lokal memang harus dipahami sebagai proses dan praktik diskursif yang harus dikaji secara terus-menerus secara mendalam. Dengan kajian-kajian itulah, akademisi maupun peneliti tidak akan lagi terjebak pada generalisasi yang terlalu memudahkan persoalan.Â
Komunitas A, misalnya, tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya berbudaya A, tanpa melalui proses penjelasan deskriptif-kritis dari apa-apa yang mereka representasikan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan komunitas A mempraktikkan budaya A hanya dalam rangka ritual-ritual tertentu.Â
Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah melakukan praktik kultural hibrid yang lebih banyak aroma budaya-budaya lain, sedangkan budaya mereka sendiri hanya sekedar tempelan pemanis. Atau, jangan-jangan komunitas A berapi-api mengatakan atau menunjukkan berbudaya A ketika terdapat kepentingan-kepentingan politis yang hendak diperjuangkan secara kolektif.
Yang tidak kalah penting untuk mendapatkan kritisi adalah perspektif masyarakat lokal terhadap proses hibridisasi kultural. Pertama, dengan menjadi sang hibrid, apakah mereka mampu melakukan strategi kedirian untuk terus menciptakan kreativitas-kreativitas kultural berbasis budaya lokal sehingga eksistensi budaya lokal akan terus bertransformasi.Â
Kedua, ketika hibridisasi kultural tidak diimbangi dengan keyakinan ideologis dari masyarakat lokal, maka yang terjadi hanyalah hegemoni kultural oleh budaya global bernuansa Barat serta menunjukkan ketidakmampuan masyarakat lokal untuk meneruskan budaya nenek-moyangnya.Â
Ketiga, ketika hibridisasi kultural mampu menjadi kesadaran ideologis untuk selalu menemukan produk-produk kreatif, maka budaya lokal pada dasarnya bisa terterima dan bertransformasi sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan kultural asing.Â
Keempat, budaya hibrid bisa saja menjadi kekuatan alternatif untuk melawan konservatisme budaya lokal yang menguntungkan segelintis elit yang memperoleh keuntungan dari esensialisme kultural yang disosialisasikan secara terus-menerus.Â