Dengan formasi demikian, budaya mampu menjadi kesadaran dan membentuk kognisi sosial masyarakat untuk selalu merujukkan tindakan dan perilaku sosio-kulturalnya kepada konstruksi wacana yang ada dalam budaya lokal.
Ketika budaya lokal sudah menjadi keyakinan ideologis, dan bukan sekedar selebrasi-selebrasi untuk memenuhi formalitas, maka mereka akan bisa dimaknai secara dinamis oleh para pendukungnya dalam konteks perkembangan zaman yang semakin transformatif.Â
Bentuk-bentuk kreativitas baru yang bernuansa hibrid akan bisa diterima dan diposisikan tidak sedang menggusur budaya lokal, karena mereka menyadari tindakan tersebut sebagai bentuk negosiasi kultural untuk memperkuat nilai tawar budaya lokal dan untuk tidak sekedar tunduk dan menyerah pada tawaran budaya global beraroma Barat.Â
Hibridisasi Kultural dan Diaspora
Migrasi penduduk etnis atau ras tertentu dari negara bekas jajahan atau negara berkembang ke negara induk atau negara maju telah melahirkan komunitas-komunitas kultural yang disebut diaspora.Â
Meskipun pada awalnya kelahiran diaspora digunakan untuk menandai migrasi global kaum Yahudi ke belahan-belahan dunia yang lebih maju dan bisa menjamin kemerdekaan religius mereka setelah penaklukan terhadap tanah Palestina oleh Babilonia dan Romawi, tetapi saat ini istilah tersebut telah meluas dan tidak lagi sebatas persoalan religi.Â
Hall (dikutip oleh Sinclair & Cunningham, 2000: 23) menjelaskan bahwa eksistensi kaum diasporik tidak bisa dilepaskan dari hibriditas budaya yang mereka alami di negara induk. Diaspora-diaspora baru yang terbentuk di seluruh dunia dipaksa untuk menghuni paling tidak dua identitas, berbicara minimal dua bahasa.Â
Diaspora adalah produk dari hibriditas kultural. Sang hibrid terikat jejaring yang kuat pada dan identifikasi dengan tradisi dan tempat asal mereka. Namun, mereka tidak mempunyai ilusi untuk kembali secara nyata kepada kemasalampuaan. Mereka tidak akan pernah kembali, dalam makna literal apapun.Â
Apalagi, tempat asal mereka juga sudah bertransformasi dari semua pemaknaan awal sebagai akibat proses yang begitu  kuat dari transformasi modernisme. Dalam pemaknaan tersebut, tidak ada pembicaraan untuk kembali ke budaya asli. Memang, mereka masih membawa jejak-jejak partikular dari budaya, tradisi, bahasa, sistem keyakinan, teks, dan sejarah yang membentuk mereka.
Namun, mereka juga harus mengadopsi nilai dan praktik budaya dominan kulit putih di metropolitan yang mereka hadapi tanpa harus secara mudah larut sepenuhnya. Jadi, di satu sisi, mereka belum terpisah sepenuhnya dari budaya lama di negara asal, tetapi mereka juga berkaitan erat dengan budaya metropolitan.Â