Schuerkens (2003) berargumen bahwa masuknya elemen-elemen budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan selama proses integrasi dan mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global ditafsir dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus penduduk lokal. Â
Budaya global disesuaikan oleh prasyarat lokal dan dipenuhi dengan muatan dan fungsi yang saling berkaitan. Masyarakat lokal mengambil dan membentuk kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri.Â
Namun, proses penyesuaian dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya sesuatu yang baru dan unik. Â Pertemuan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru.Â
Dalam konteks budaya global, hal itu menandakan keragaman budaya global: namun keragaman yang dihasilkan dari jejaring kultural global terkini, dari penyesuaian kultural dari elemen-elemen eksternal oleh penduduk lokal dan dari percampuran kreatif elemen-elemen global dengan makna dan bentuk budaya lokal. Â
Ketika masyarakat lokal semakin terbiasa dengan budaya global yang dinikmati dalam kehidupan sehari-hari, pada saat bersamaan mereka juga masih mempunyai kerinduan akan nuansa kedirian lokal yang mengendap dan berusaha untuk dimunculkan.Â
Namun demikian, untuk memunculkan yang sepenuhnya lokal adalah kemustahilan dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir masyarakat lokal. Akibatnya, interpretasi terhadap budaya global dalam konteks lokalitas menjadi pilihan strategis untuk mempertahankan budaya lokal yang masih bisa dinegosiasikan dalam konteks sosio-kultural kontemporer.
Proses percampuran kultural memang tidak bisa dihindari lagi. Masyarakat lokal dengan cara pembacaan dan interpretasinya masing-masing berusaha secara kontinyu untuk membuka ruang dialektika dengan elemen-elemen baru yang berasal dari dunia luar.Â
Usaha tersebut merupakan strategi untuk terus-menerus menegaskan identitas lokal sehingga mampu bergerak dan berkembang mengikuti arus transformasi yang tidak bisa dibendung lagi. Produk-produk budaya hibrid memang tercipta sebagai bentuk kreasi kultural yang mampu mempertemukan aspirasi lokalitas dan kecenderungan global.Â
Masyarakat lokal, dengan demikian, tidak lagi memosisikan budaya Barat maupun budaya global sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budaya lokal mereka masing-masing.Â
Mereka memposisikan budaya global sebagai tantangan yang harus dimaknai, dirombak, direkonstruksi, diramu, dan di-lokal-kan, bukan untuk kepentingan hegemoni budaya global, tetapi untuk kepentingan budaya lokal yang mesti terus diusahakan eksistensinya.