Akibatnya, hasil kreativitas mereka pada akhirnya cenderung meniru dan memosisikan yang Barat sebagai kemutlakan yang sekaligus menandakan eksistensi mereka dalam jejaring "kewarganegaraan kosmopolitan" (Smith, 2007: 38-39) yang diyakini bisa memberikan pencerahan dengan beragam keyakinan bahwa yang lokal bisa memberikan warna bagi yang global, meskipun yang lokal kemudian menjadi sangat terikat dengan yang global.Â
Produk-produk budaya yang dihasilkan dalam level industri kreatif nasional memang selalu diposisikan sebagai kreasi anak negeri yang bersifat hibrid. Namun, apabila diperhatikan lagi sifat hibrid itu hanyalah terwakili oleh elemen kebahasaan yang dianggap menandakan identitas bangsa, sementara genre dan style tetaplah menjadi Barat.Â
Hibridisasi kultural yang terjadi kemudian lebih mengarah pada transformasi kultural yang dalam banyak kasus telah memotong akar tradisi dan kultural yang ada sebelumnya. Flusty (2004: 109) menjabarkan hibriditas kultural sebagai wujud identitas personal dan kolektif baru dari kombinasi baru yang berasal dari atribut, praktik, dan pengaruh kultural yang berbeda.Â
hibridisasi membuahkan hasil-hasil yang beragam, bahkan kontradiktif.Â
Budaya hibrid muncul dari kondisi yang terlepas dari akar dan tanpa tempat asal. Ketidaksinambungan yang diimplikasikanDalam terma positif, hibridisasi bisa jadi menghasilkan, semisal, tawaran-tawaran kultural yang lebih luas dan sebuah tantangan terhadap sifat-sifat yang sudah mapan tentang ras; negatifnya, hal itu bisa berasosiasi dengan perpindahan, hilangnya tradisi, dan permasalahan sosial.
Memang hibridisasi kultural yang sedikit demi sedikit menciptakan keterpisahan dengan budaya lokal dari sebuah bangsa lebih banyak terjadi di pusat-pusat kota yang lebih dekat dengan lalu-lintas budaya global.Â
Impian-impian kultural yang teurs-menerus membayangkan kosmopolitanisme benar-benar menciptakan percampuran-percampuran yang seolah-olah menciptakan ketiadaan batas etnisitas, namun di balik itu, orang-orang menjadi tercerabut dari ikatan-ikatan sosio-kultural dengan kearifan maupun bentuk-bentuk budaya dari generasi-generasi sebelumnya.Â
Maka, budaya global yang diyakini beragam, nyatanya tetap diwarnai oleh hegemoni budaya Barat dengan porosnya Hollywood dan Eropa. Â Â
Ironisnya, realitas peniruan terhadap budaya Barat pada beberapa bidang kehidupan nyatanya tidak bisa menghasilkan hibriditas budaya bagi bangsa poskolonial. Memang pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat poskolonial dianggap mampu melakukan pembacaan ulang dengan budaya masa lampau (kolonial) untuk kepentingan nasional pascakemerdekaan.Â
Mereka berusaha untuk menemukan identitas baru yang tidak sepenuhnya menyalahkan masa lampau kolonial, namun juga melakukan 'penyelamatan' terhadapa budaya-budaya lokal dan kolonial untuk memproduksi bentuk-bentuk yang sesuai sehingga bisa merepresentasikan realitas pascakolonial.Â
Dengan demikian identitas pascakolonial bersifat ironis, kontradiktif, dan ragu-ragu, diwarnai oleh 'ketidakaslian' yang dibentuk oleh identifikasi secara relatif terhadap budaya penjajah dan penolakan terhadapnya (Kusno, 2000).