Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Tinggi dalam Kuasa Neoliberal: Pemikiran Giroux

23 Maret 2023   08:06 Diperbarui: 23 Maret 2023   08:31 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan tinggi di era pasar. Sumber:https://socialistproject.ca

Pengantar

Sejak era 1970-an, neoliberalisme menghasilkan kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang ditandai dengan privatisasi, komodifikasi, perdagangan bebas, dan deregulasi. 

Sistem ekonomi berbasis pasar ini meningkatkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin dengan mendistribusikan kembali kekayaan kepada individu yang paling berkuasa dan kaya dan kelompok, Darwinisme ekonomi. 

Dalam bidang pendidikan, kebijakan neoliberal mendorong bentuk pedagogi publik yang mengistimewakan kewirausahaan sambil mendorong sistem nilai yang mempromosikan kompeteisi dan kepentingan pribadi. 

Neoliberalisme tidak hanya berpengaruh dalam membentuk kehidupan sosial di Amerika Serikat (AS), tetapi juga menjadi fenomena global “yang mengarahkan praktik dan prinsip ekonomi kedalam mekanisme IMF, World Bank, dan World Trade Organization, lembaga internasional yang sangat menentukan kebijakan ekonomi negara berkembang dan aturan perdagangan internasional.

Henry A. Giroux, salah satu intelektual AS yang banyak mengkaji masalah pedagogi dan budaya secara jeli mengkritisi dampak penerapan neoliberalisme dalam tata kelola pemerintah AS terhadap pendidikan tinggi. 

Cover buku Neoliberalism's War on Higher Education. Sumber: Amazon.com
Cover buku Neoliberalism's War on Higher Education. Sumber: Amazon.com

Dalam bukunya, Neoliberalism’s Wars on Higher Education (2014), secara komprehensif mengkritisi bagaimana kebijakan ekonomi-politik pasar pemerintah AS berdampak bukan hanya kepada semakin kuatnya otoritas pemodal dan berkurangnya kepedulian terhadap bermacam masalah sosial, tetapi juga kepada kebijakan perguruan tinggi yang mendukung kebebasan dan kompetisi pasar. 

Perguruan tinggi menjadi penyedia kebutuhan korporasi, alih-alih mengembangkan pengetahuan-pengetahuan kritis dan melakukan keterlibatan dalam isu-isu sosial dalam masyarakat.

Tulisan ini merupakan review pertama dari buku tersebut. Pada beberapa bagian awal, saya akan memfokukaskan bagaimana retorika kebebasan neoliberalisme dalam aktivitas pedagogi sejatinya menyimpan banyak masalah yang berdampak serius terhadap warga masyarakat serta pertumbuhan wacana bersama yang membenarkan logika pasar. 

Pada bagian berikutnya, saya akan membicarakan bagaimana pemerintahan neoliberal AS, meskipun dikampanyekan berbasis demokrasi dan kebebasan individual, sejatinya digerakkan oleh kekuatan para pemodal besar dan berdampak pada kurangnya program jaminan sosial dan kesehatan, khusunya buat kelompok rentan. 

Pada bagian akhir, saya akan mengungkap bagaimana pandangan Giroux terkait posisi perguruan tinggi yang mengalami pelemahan secara sistematis karena dijauhkan dari fungsi kritisnya dan dari keterlibatan terhadap masalah-masalah publik serta pentingnya pendidikan kritis sebagaimana selama ini berlangsung di bidanh humaniora

Membongkar Retorika Kebebasan Ideologi Neoliberal

Dengan model pedagogi publiknya, para pengusung neoliberalisme berupaya melemahkan solidaritas dan kekuatan pubik yang berpotensi mampu melawan atau menghalangi nilai-nilai yang dikendalikan pasar. Mereka secara luas dan beragam rmempromosikan kebajikan individualisme yang kurang menghormati komunitas, tanggung jawab sosial, nilai-nilai publik, dan kebaikan sosial. 

Akibatnya, banyak kebijakan negara yang mengarah kepada pengabaian sosial. Permasalahan sosial semakin dipersalahkan sebagai ketidakmampuan individual, sedangkan perlindungan dan jaminan sosial semakin dikurangi atau dilemahkan secara fatal. 

Karikatur tentang ketidakadilan akibat neoliberalisme. Sumber: Cultursmag.com
Karikatur tentang ketidakadilan akibat neoliberalisme. Sumber: Cultursmag.com

Ciri lainnya, neoliberalisme tumbuh subur dalam semacam amnesia sosial yang menghapus pemikiran kritis, analisis sejarah terkait beragam ketidakadilan, dan pemahaman apa pun tentang hubungan sistemik yang lebih luas. Ingatan kritis tentang ruang publik di mana orang belajar menerjemahkan masalah pribadi menjadi masalah publik mulai dihilangkan secara sistematis.

Neoliberalisme menjadikan masalah sosial direduksi sebagai kelemahan individu dan pertimbangan politik runtuh ke dalam wacana yang merugikan dan mendakwa diri mereka yang mengalami masalah. 

Artinya, ketika banyak masalah sosial seperti kemiskinan dan pengangguran, wacana yang dituduhkan adalah bahwa individu yang berada dalam masalah memiliki kelemahan personal, bukan karena kebijakan ekonomi dan politik yang berpihak kepada pemodal dan mekanisme pasar. 

Banyak warga AS tidak begitu mementingkan kemarahan politik dan moral atas sebuah negara yang sistem ekonomi dan politiknya berada di tangan elit kecil yang sangat kaya. Mereka juga kurang berpikir serius tentang alternatif yang lebih manusiawi, alih-alih bertahan di dasar tatanan neoliberal yang biadab. 

Hal ini mempermudah neoliberalisme untuk meyakinkan orang agar tetap terikat pada seperangkat ideologi, nilai, model pemerintahan, dan kebijakan yang menghasilkan penderitaan dan kesulitan besar-besaran. 

Benar kiranya kalau dikatakan bahwa “trik terbaik” neoliberalisme adalah meyakinkan individu bahwa mereka harus “membayangkan diri mereka sebagai agen yang dapat dan harus menjalani kehidupan baik yang dijanjikan oleh budaya kapitalis. 

Padahal, berbagai pemangkasan terhadap anggaran untuk kepentingan publik dilakukan dalam berbagai sektor, dari kesehatan, pertanian, hingga pendidikan.

Selain menimbun kekayaan materi dalam jumlah yang terus bertambah, banyak elit kaya mengendalikan sarana sekolah dan aparatus budaya lainnya, seperti industri media. Mereka tidak lagi mementingkan pendidikan kritis. 

Bermacam institusi dan partai politik di banyak negara maju dan berkembang mendukung reformasi pendidikan untuk memperbaiki buta huruf konseptual dan budaya. Pembelajaran kritis diganti dengan penguasaan mengerjakan ujian, menghafal fakta, dan belajar bagaimana tidak mempertanyakan pengetahuan atau otoritas. 

Pembelajaran yang dianggap bertentangan dan meresahkan akal sehat, membuat kekuasaan bisa dikritisi, dan menghubungkan pengetahuan ruang kelas dengan isu-isu sipil yang lebih besar dianggap berbahaya di semua tingkat pendidikan. Bermacam reformasi pendidikan diarahkan untuk merestrukturisasi tata kelola penyelenggaraan pendidikan tinggi. 

Pendidikan tinggi diarahkan untuk mengadopsi bentuk tata kelola yang meniru struktur perusahaan dengan meningkatkan kekuatan administrator, mengorbankan fakultas dengan menjadikan staf mereka tenaga kerja kontrak dan berupah rendah, serta memosisikan mahasiswa sebagai konsumen yang siap dilatih untuk pekerjaan berketerampilan rendah dan berisiko.

Pedagogi yang digerakkan oleh pasar ini menghilangkan gagasan kebebasan, mengubahnya sebagian besar menjadi hasrat untuk mengkonsumsi dan berinvestasi secara eksklusif dalam hubungan yang hanya melayani kepentingan individual. Saat ini banyak individu kehilangan kemampuan untuk memahami dan menggunakan pendidikan secara kritis. 

Warga negara diperlakukan oleh elit  sebagai anak-anak yang gelisah dan diarahkan setiap hari untuk mengubah posisi penting sebagai warga negara menjadi seni berbelanja. Konsumerisme dangkal ditambah dengan ketidakpedulian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain telah menghasilkan politik pembuangan (pengabaian) terhadap masalah sosial dan budaya moral. 

Pada saat yang sama, ekonomi neoliberal yang menempatkan kepentingan individual di pusat kehidupan sehari-hari memangkas pertimbangan moral tentang ketidakadilan yang kita ketahui dan bagaimana kita semestinya bertindak terkait ongkos sosial dan pertimbangan moral yang lebih besar. 

Dalam wacana media, bahasa telah dilucuti dari konstrruksi gagasan yang merangkul kepedulian terhadap yang lain. Dengan makna yang sepenuhnya diprivatisasi, kata-kata direduksi menjadi penanda yang meniru tontonan kekerasan, yang dirancang untuk memberikan hiburan alih-alih analisis yang bijak. 

Sentimen yang beredar dalam budaya dominan menampilkan kebodohan atau etika bertahan hidup, sementara retorika anti-publik melucuti masyarakat dari pengetahuan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk keterlibatan dalam menangani masalah dan pengembangan sosial.

Dalam keadaan seperti itu, kebebasan benar-benar terganggu. Ideologi neoliberal menerjemahkan setiap gagasan tentang keterhubungan dan ketergantungan individu dalam masyarakat sebagai sebagai patologi. Sistem ekonomi pasar telah menghasilkan ideologi yang melegitimasi berkurang atau hilangnya penelitian kritis, tanggung jawab moral, dan keadilan sosial dan ekonomi. 

Akibatnya, ideologi neoliberal semakin menyerupai ajakan perang yang membelokkan prinsip-prinsip demokrasi melawan demokrasi itu sendiri. Warga AS, misalnya, hidup dalam masyarakat yang hancur di mana ikatan antarmanusia menjadi rusak, demokrasi begitu terancam, dan semua hal yang bekaitan dengan publik dipandang dengan jijik.

Pemerintahan dalam Kendali Neoliberal

Dalam tata kelola pemerintah, neoliberalisme memungkinkan mereka yang memiliki uang berlimpah untuk terlibat dan menentukan urusan pemerintahan. Pemilu dan posisi politik tertentu, seperti wakil rakyat, kini diperjualbelikan kepada penawar tertinggi. 

Di Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat AS, misalnya, 47 % anggotanya adalah jutawan. Para wakil rakyat kurang memperhatikan permasalahan para pemilih mereka. Sebaliknya, mereka mengutamakan tuntutan pelobi yang memiliki pengaruh besar dalam mempromosikan kepentingan elit, sektor jasa keuangan, dan perusahaan besar, termasuk membeli kebijakan dan meminta keringanan pajak.

Dalam kondisi demikian, ketidaksetaraan ekonomi merupakan hal yang wajar, sedangkan para pemodal besar bisa menumpuk kekayaan terus-menerus. Dampaknya, demokrasi dibongkar dan dibajak untuk kebijakan yang mendukung pasar, alih-alih meringankan penderitaan manusia, kekerasan, kesengsaraan, dan kesulitan sehari-hari.

Ketidakadilan ekonomi dalam neoliberalisme. Sumber: www.citywatchla.com
Ketidakadilan ekonomi dalam neoliberalisme. Sumber: www.citywatchla.com

Pemerintahan demokratis digantikan oleh kedaulatan pasar, membuka jalan bagi bentuk dan mekanisme pemerintahan yang berkeinginan mengubah warga negara demokratis menjadi agen wirausaha. Bahasa pasar dan budaya bisnis kini hampir seluruhnya menggantikan perayaan kebutuhan publik atau seruan untuk meningkatkan karakteristik masyarakat sipil dari generasi sebelumnya. 

Banyak tokoh besar tidak dikaitkan lagi dengan kemampuan mereka menyerukan perjuangan, kemerdekaan, dan karakter unggul bangsa, tetapi sekedar dirayakan sebagai ikon yang tidak berisi pesan solidaritas dan perjuangan sosial apa pun. 

Penghapusan dan depolitisasi sejarah dan politik ini diimbangi dengan perayaan budaya bisnis di mana publik disuguhi pahlawan-pahlawan baru yang dianggap berhasil dengan temuan dan bisnis mereka. Bahkan, selebritas karena keterkenalan dijadikan duta untuk menangani permasalahan sosial dan kultural di masyarakat.

Pahlawan lama berkorban untuk meringankan penderitaan orang lain, sedangkan pahlawan baru yang diambil dari budaya perusahaan dan selebritas hidup dari penderitaan orang lain.

Masyarakat dibanjiri budaya neoliberal yang menandakan ketidakcerdasan secara sosisal. Banyak warga yang acuh tak acuh terhadap orang lain sebagai dampak pengutamaan individual dalam praktik kompetisi. Kondisi tersebut melegitimasi kehancuran ikatan sosial yang sejatinya diperlukan untuk masyarakat demokratis. 

Lebih dari itu, kegagalan warga untuk menerapkan prinsip kualitas diri individual menjadikan mereka kriminal atau pelaku tindakan inkonstitusional yang sekaligus memperkuat budaya kekejaman dan menjunjung sel isolasi sebagai bentuk hukuman bagi ribuan orang muda dan orang dewasa yang dianggap bersalah secara hukum. 

Masih beruntung kiranya, masih ada perlawanan dari minoritas kritis (kalangan buruh, mahasiswa, dosen, dan guru) yang menegaskan bahwa publik belum sepenuhnya dijajah oleh para bankir, pengelola hedge fund (investasi kolektif), dan pendukung neoliberalisme lainnya.

Protes terhadap neoliberalisme di Chile. Sumber: Opendemocracy.net
Protes terhadap neoliberalisme di Chile. Sumber: Opendemocracy.net
Pemerintahan neoliberal mampu menghasilkan sistem ekonomi dan politik yang dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang kaya dan berkuasa penuh yang membentuk apa yang disebut plutonomy, ekonomi yang dikuasai oleh orang-orang kaya. 

Para plutokrat adalah “zombie baru,” para parasit yang menyedot sumberdaya serta manusia-manusia di planet untuk memperkuat kuasa ekonomi dan politik serta membiayai gaya hidup mereka yang selangit. 

Kekuasaan saat ini bersifat global, tertutup, dan didorong oleh pengabaian yang biadab terhadap kesejahteraan manusia, sedangkan politik sebagian besar berada di institusi modernitas yang lebih tua seperti negara bangsa. Para plutokrat baru tidak memiliki kesetiaan pada komunitas nasional, keadilan, atau hak asasi manusia, alih-alih kepada hanya potensi pasar dan keuntungan. 

Ironisnya, kebijakan sekarang diberlakukan dengan memberikan pemotongan pajak besar-besaran kepada orang kaya dan subsidi murah hati untuk bank dan perusahaan. 

Di saat bersamaan pemerintah atas desakan pengusung neoliberal mengurangi anggaran besar-besaran dalam program penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur kritis, dan pengembangan program sosial penting mulai dari perawatan kesehatan hingga program makanan sekolah untuk anak-anak yang kurang beruntung.

Kurangnya investasi untuk pendidikan, program sosial, dan infrastruktur untuk warga berusia senja, bukan karena kurangnya uang. Masalah ini berasal dari prioritas pemerintah terkait dari mana uang dikumpulkan dan bagaimana uang digunakan. Di AS, misalnya, 60% anggaran federal dialokasikan untuk kepentingan militer dan hanya 6% untuk kepentingan pendidikan. 

Pemerintah AS menghabiskan $ 92 miliar untuk subsidi perusahaan dan $ 59 miliar untuk program kesejahteraan sosial. Pada saat bersamaan, finansialisasi ekonomi dan budaya berakibat pada meningkatnya kekuasaan monopoli, pinjaman predator, praktik kartu kredit yang kejam, dan penyalahgunaan bayaran CEO. 

Prinsip neoliberal yang meyakini mekanisme pasar dapat menyelesaikan semua masalah masyarakat memberikan kekuatan uang yang tak terkendali. Prinsip tersebut juga melahirkan kebijakan politik yang menguntungkan orang kaya dan memungkinkan sektor keuangan untuk mengumpulkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar.

Serangan terhadap Pendidikan Tinggi

Salah satu kebijakan tidak manusiawi sebagai dampak tatanan neoliberal dalam kepemerintahan adalah kategoriasi penduduk, terutama mereka yang terpinggirkan karena perbedaan kelas, ras, etnis, atau status imigrasi, sebagai kelebihan populasi yang harus disingkirkan dari lingkungan sosial. 

Kategori penduduk tersebut menjadi sasaran pengawasan aparat dan institusi negara, bahkan sasaran kekerasan dan penyiksaan atas nama ketertiban sosial. Politik disposabilitas menggambarkan kategori penduduk ini tidak layak untuk diberikan anggaran dalam pelayanan sosial atau tidak layak untuk berbagi hak, manfaat, dan perlindungan dari demokrasi substantif. 

Gelandangan di AS. Sumber: news.wosu.org
Gelandangan di AS. Sumber: news.wosu.org
Apa yang cukup meresahkan adalah kurangnya oposisi di kalangan publik terhadap pandangan bahwa kelompok sosial tertentu dapat disingkirkan, sebagai salah satu penanda kehadiran otoritarianisme di AS dan negara-negara demokratis lainnya. 

Jika dibiarkan, mekanisme neoliberal tidak hanya akan menghancurkan tatanan sosial dan melemahkan demokrasi, tetapi juga akan memarjinalisasikan para intelektual yang bersedia memperjuangkan nilai, hak, ruang, dan institusi publik yang tidak terikat dengan logika privatisasi, komodifikasi, deregulasi, dan perjuangan kompetitif yang kejam di mana  hanya yang terkuat yang bisa bertahan. 

Budaya baru kekejaman dan pembuangan/pengabaian sosial ini menjadi ciri khas kekuasaan neoliberal dan akan mendatangkan kehancuran dengan cara yang belum terbayangkan. Semua bukti menunjukkan bahwa realitas baru sedang terungkap, yang ditandai dengan krisis pendidikan, agensi, dan tanggung jawab sosial yang mengakar.

Serangan saat ini yang mengancam pendidikan tinggi dan bidang humaniora khususnya tidak dapat dipahami di luar krisis ekonomi, politik, dan kekuasaan. Proses sejarah baru ini terbukti dengan semakin banyak kelompok yang dianggap dapat dibuang, runtuhnya nilai-nilai publik, perang terhadap kaum muda, dan serangan oleh korporasi ultra kaya dan besar terhadap demokrasi itu sendiri. 

Keadaan darurat ini ditandai dengan kurangnya (a) perhatian kepada penanganan masalah sosial akut, (b) perlindungan sosial bagi yang kurang beruntung, (c) mengembangkan ruang publik yang ditujukan untuk mempromosikan kebaikan bersama, dan (b) perlindungan bidang pendidikan yang memungkinkan untuk memperdalam pengetahuan, keterampilan, dan model perwakilan yang diperlukan agar demokrasi substantif bisa berkembang lebih baik. 

Ilustrasi pendidikan dalam pengaruh neoliberal. Sumber: aftlonestar.blogspot.com
Ilustrasi pendidikan dalam pengaruh neoliberal. Sumber: aftlonestar.blogspot.com

Bentuk ancaman nyata terhadap pendidikan tinggi dan humaniora khususnya adalah meningkatnya laju korporatisasi universitas, pemadaman kebebasan akademik, munculnya kelompok manajerial yang membengkak, dan pandangan bahwa mahasiswa pada dasarnya adalah konsumen dan fakultas penyedia komoditas yang dapat dijual seperti seperangkat keterampilan di tempat kerja. 

Yang lebih mencolok lagi adalah kematian pelan-pelan universitas sebagai pusat kritik, sumber vital pendidikan kewarganegaraan, dan barang publik yang penting.

Konsekuensi dari transformasi dramatis pendidikan tinggi tersebut adalah hampir matinya universitas sebagai ruang publik yang demokratis. Banyak fakultas sekarang mengalami demoralisasi karena mereka semakin kehilangan hak dan kekuasaan. Selain itu, fakultas yang lemah diterjemahkan menjadi fakultas yang diatur oleh rasa takut alih-alih tanggung jawab bersama. 

Demoralisasi seringkali tidak diterjemahkan menjadi kemarahan moral, alih-alih menjadi sinisme, akomodasi, dan kemunduran akadeis menuju profesionalisme yang steril/netral. Banyak fakultas sekarang menemukan diri mereka seperti menatap ke dalam jurang, karena tidak mau mengatasi serangan neoliberal terhadap universitas.

Banyak akademisi dan penentu kebijakan di tingkat fakultas bingung dalam menghadapi tuntutan wacana spesialisasi dan profesionalisasi yang menghubungkan kurikulum dan pembelajaran dengan dunia pekerjaan, sehingga memutus keterhubungan dan keterlibatan mereka dengan masalah rakyat serta memotong keterkaitan mereka dengan politik demokrasi yang lebih luas.

Imbas luar biasa dari kecenderungan tersebut adalah para akademisi dan pengelola fakultas cenderung kurang berkomunnikasi atau kurang peduli terhadap publik yang lebih besar, kurang menjunjung tinggi nilai-nilai publik, atau kurang memberikan beasiswa yang dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. 

Meningkatnya tuntutan agar fakultas melayani kepentingan perusahaan dan pengembangan karir terlalu banyak akademisi yang merasa terlalu nyaman dengan korporatisasi universitas dan rezim baru pemerintahan neoliberal. 

Ketika banyak akademisi terbiasa mengejar hibah, promosi, dan penelitian konvensional, mereka menarik diri dari debat publik yang lebih besar dan menolak untuk mengatasi masalah sosial yang mendesak. Dengan asumsi netralitas keilmuan, banyak akademisi membuat tulisan, memformulasi teori atau menemukan hak cipta tertentu untuk memenuhi kepentingan individualnya dan industri. 

Tidak heran kalau saat ini kita menyaksikan lahirnya banyak “pengusaha akademis.” Kehadiran mereka sejatinya hanya memperkuat persepsi publik bahwa banyak akademisi yang keberadaan mereka tidak relevan lagi dengan permasalahan dalam masyarakat. 

Karikatur privatisasi pendidikan di AS. Sumber: http://neolib.uga.edu
Karikatur privatisasi pendidikan di AS. Sumber: http://neolib.uga.edu

Semakin sedikit akademisi yang mau membela dan memperjuangkan universitas sebagai situs penting untuk belajar bagaimana berpikir kritis dan bertindak dengan keberanian sipil. Banyak akademisi menjadi aparat disiplin yang memandang universitas bukan sebagai tempat untuk berpikir tetapi sebagai tempat untuk mempersiapkan mahasiswa agar menjadi kompetitif di pasar global.

Universitas menghadapi serangkaian tantangan yang semakin meningkat yang timbul dari pemotongan anggaran, menurunnya kualitas pengajaran, perampingan fakultas, pendisiplinan penelitian untuk isu-isu tertentu yang disukai korporasi, dan pembenahan kurikulum agar sesuai dengan kepentingan pasar. 

Semua itu tidak hanya bertentangan dengan budaya dan nilai demokrasi pendidikan tinggi, tetapi juga mencemooh makna dan misi perguruan tinggi itu sendiri, yakni universitas sebagai tempat berpikir dan menyediakan budaya formatif dan agen yang memungkinkan tumbuhnya demokrasi. 

Banyak universitas dan perguruan tinggi lainnya mengabaikan posisi mereka sebagai ruang publik demokratis yang didedikasikan untuk menyediakan layanan publik, memperluas pencapaian intelektual dan budaya umat manusia, dan mendidik generasi mendatang untuk dapat menghadapi tantangan demokrasi global.

Kalaupun ada universitas yang masih menjadi arena publik untuk memperdebatkan pemikrian, menghasilkan pengetahuan kritis, dan mempraktikkan pembelajaran terkait isu-isu sosial, mereka semakin sendirian. 

Media sebagai aparatus budaya yang diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi dengan menawarkan sudut pandang alternatif, menantang otoritas yang tidak dan berpihak kepada kepentingan publik sebagian besar telah dibajak oleh konsolidasi kekuatan korporasi. Sekira 90% media di AS dikendalikan oleh enam perusahaan. 

Maka, nilai-nilai demokratis yang dikonstruksi media digantikan oleh ideolog, nilai-nilai, dan cara berpikir yang dikelola oleh media yang dominan. Kondisi tersebut berdampak pada represi negara yang bersepakat terhadap ideologi pasar terhadap perbedaan pendapat. Selain itu, pemikiran kritis semakin diposisikan atau diabaikan sebagai sesuatu yang dangkal, jika bukan reaksioner.

Substansi demokrasi dalam negara hanya dapat dipertahankan dan dikembangkan melalui literasi kewarganegaraan yang memungkinkan individu untuk menghubungkan masalah pribadi dengan isu publik yang lebih besar sebagai bagian dari wacana penyelidikan, dialog, dan keterlibatan kritis yang lebih luas. 

Literasi kewarganegaraan, dalam konteks ini, membekali warga negara dengan keterampilan untuk memahami secara kritis sekaligus memungkinkan mereka untuk benar-benar melakukan intervensi dalam masyarakat terkait permasalahan ekonomi, politik, maupun budaya. 

Itulah mengapa, pendidikan tinggi dilemahkan dari fungsi strategisnya untuk menyiapkan individu-individu yang kecakapan literasi dalam merespons ketidakberesan kebijakan neoliberal. Menjadi wajar kalau para pendukung dan pengusung kapitalisme neoliberal berusaha menyerang pendidikan tinggi dengan upaya sistematis melalui kebijakan negara. 

Karikatur relasi pendidikan tinggi dengan industri. Sumber: otrasvoceseneducacion.org
Karikatur relasi pendidikan tinggi dengan industri. Sumber: otrasvoceseneducacion.org

Tujuannya adalah melumpuhkan budaya bertanya dan kritik, melemahkan literasi, dan mematikan ruang publik. Padahal nalar dan kritik bergabung dengan tanggung jawab sosial merupakan ciri utama agensi kritis dan demokratisasi.

Perang sayap kanan (pendukung kapitalisme) terhadap literasi kritis adalah bagian dari upaya berkelanjutan untuk menghancurkan pendidikan tinggi sebagai ruang publik demokratis yang memungkinkan para intelektual untuk berdiri teguh, mengambil risiko, membayangkan hal sebaliknya, dan melawan arus. 

Para pendidik perlu bertanya dan bertayan lagi, bagaimana pendidikan tinggi dapat bertahan dalam masyarakat di mana budaya sipil dan mode literasi kritis runtuh karena semakin sulit untuk membedakan pendapat dan ledakan emosi dari argumentasi dan penalaran logis yang berkelanjutan. 

Apa yang tak kalah pentingnya adalah kebutuhan para pendidik dan generasi muda untuk mengambil tantangan mempertahankan universitas. 

Karena, ketika universitas tidak lagi secara serius memosisikan perannya sebagai penjaga kebebasan sipil yang lebih luas, sebagai penyelidik masalah etika yang semakin kompleks, sebagai pelayan dan pemelihara praktik demokrasi yang lebih dalam, maka akan ada kekuatan lain yang akan melakukannya untuk universitas, tetapi terlepas dari universitas, dan tanpa universitas. 

Dalam kondisi demikian, bidang humaniora bisa menempatkan dirinya sebagai kekuatan strategis. Mempertahankan humaniora berarti lebih dari sekadar menawarkan ruang akademik bagi mahasiswa untuk mempelajari sejarah, filosofi, seni, bahasa, dan sastranya. 

Mempertahankan humaniora juga berarti mengajak mahasiswa untuk memahami pentingnya bidang studi ini jika mereka ingin dapat membuat klaim apa pun untuk menjadi agen individu dan sosial yang kritis dan terlibat di dalam permasalahan di masyarakat. 

Selain itu, bidang humaniora juga memberikan pengetahuan, keterampilan, hubungan sosial, dan bentuk pedagogi yang merupakan budaya formatif di mana pelajaran sejarah demokratisasi dapat dipelajari, tuntutan tanggung jawab sosial dapat dilibatkan secara serius, imajinasi dapat diperluas, dan pemikiran kritis dapat dikuatkan. 

Ini tentu bertentangan dengan posisi perguruan tinggi sebagai pelengkap kompleks akademik-industri, di mana pembelajaran tidak ada hubungannya dengan mengajar mahasiswa bagaimana berpikir untuk diri mereka sendiri dalam demokrasi, bagaimana berpikir kritis dan terlibat dengan orang lain, dan bagaimana menangani melalui mekanisme demokrasi yang menghargai hubungan antara diri mereka sendiri dan dunia yang lebih besar. 

Karikatur yang mengkritisi universitas. Sumber: philosophersforchange.org
Karikatur yang mengkritisi universitas. Sumber: philosophersforchange.org

Apa yang dibutuhkan saat ini adalah menumbuhkan revolusi permanen terkait makna dan tujuan pendidikan tinggi. Para akademisi, lebih dari bergerak melampaui bahasa kritik dan wacana kemarahan moral dan politik, harus mau membuat pertahanan individu dan kolektif yang berkelanjutan untuk terus mejadikan universitas sebagai ruang publik penting pusat demokrasi itu sendiri.

Para akademisi harus menolak gagasan yang mengidealisasi universitas dalam model pembelajarannya mengabaikan pemikiran-pemikiran kritis dan keterlibatan sosial serta semata-mata mengutamakan luaran yang sesuai dengan kepentingan korporasi. 

Publik tampaknya telah menyerah pada gagasan untuk mendanai pendidikan tinggi atau menilainya sebagai barang publik yang sangat diperlukan untuk kehidupan demokrasi yang layak. 

Hal ini semakin menjadi alasan bagi para akademisi untuk berada di garis depan koalisi aktivis, pegawai negeri, dan lainnya dalam menolak pertumbuhan manajemen korporat pendidikan tinggi dan mengembangkan wacana baru di mana universitas, dan khususnya humaniora, dapat dipertahankan sebagai institusi sosial dan publik yang vital dalam masyarakat demokratis. 

Terus Mengusahakan Pendidikan Kritis

Salah satu cara untuk menantang otoritarianisme baru yang dihasilkan oleh neoliberalisme dalam pemerintahan dan pendidikan tinggi adalah merebut-kembali hubungan antara pendidikan kritis dan perubahan sosial.

Pertanyaan tentang subjek dan bentuk agen individu dan sosial seperti apa yang diperlukan agar demokrasi bertahan tampaknya merupakan pertanyaan yang menempatkan masalah pendidikan, pedagogi, dan budaya di pusat pemahaman apa pun tentang politik. 

Pilihan tersebut menjadi penting ketika terlalu sedikit warga negara yang tampaknya tertarik pada demokrasi di luar ritual pemungutan suara. Istilah "demokrasi" telah dikosongkan dari makna yang layak, dibajak oleh bajingan politik, elit perusahaan, dan industri periklanan. 

Janji yang dijanjikan demokrasi sebagai perjuangan berkelanjutan untuk hak, keadilan, dan harapan masa depan telah terdegradasi menjadi keinginan yang salah tempat untuk berbelanja dan untuk memenuhi kecerdasan menyenangkan dalam tontonan kekerasan, sementara bahasa demokrasi disalahgunakan dan disebarkan sebagai alasan untuk tindakan rasis terhadap imigran dan orang miskin.

Pendidikan adalah proses, bukan komoditas. Sumber: philosophersforchange.org
Pendidikan adalah proses, bukan komoditas. Sumber: philosophersforchange.org

Sudah saatnya akademisi dan masyarakat untuk tidak hanya mendefinisikan-kembali janji demokrasi tetapi juga untuk menantang mereka yang telah meracuni maknanya. 

Masyarakat telah menyaksikan tantangan semacam itu melalui gerakan protes baik di AS maupun di negara-negara lain di mana perjuangan atas pendidikan telah menjadi salah satu titik tumpu yang paling kuat untuk memperbaiki dampak merugikan dari neoliberalisme. 

Apa yang mempertemukan perjuangan tersebut, terutama oleh kaum muda, adalah upaya untuk menggabungkan kekuatan persuasi dan kritis, literasi kewarganegaraan dengan kekuatan gerakan sosial untuk mengaktifkan dan memobilisasi perubahan nyata. 

Mereka memulihkan gagasan tentang sosial dan mengklaim kembali jenis kemanusiaan yang seharusnya menginspirasi dan menginformasikan keinginan kolektif kita untuk membayangkan seperti apa demokrasi yang sebenarnya.

Sebagai lensa penting untuk menciptakan budaya formatif di mana politik dan kekuasaan dapat dibuat terlihat dan dimintai pertanggungjawaban, pedagogi memainkan peran sentral. Namun, kritik bukanlah satu-satunya tanggung jawab publik para intelektual, seniman, jurnalis, pendidik, dan lainnya yang terlibat dalam praktik pedagogis kritis. 

Lebih dari itu, kaum intelektual bisa bergabung dengan warga dan terkadang pemerintah untuk membangun dunia yang lebih adil dan demokratis. Salah satu peran konstruktif tersebut adalah membantu gerakan dan organisasi kerakyatan dalam upaya mereka untuk memajukan keadilan dan demokrasi. 

Dalam konteks demikian, pemahaman harus dikaitkan dengan praktik tanggung jawab sosial dan kemauan untuk membentuk gerakan politik yang menangani masalah nyata dan memberlakukan solusi konkret. Para akademisi, mahasiswa, bersama masyarakat harus serius menggarap sistem politik seperti apa yang sesuai dengan keinginan mereka. 

Aliansi tersebut juga perlu mulai mendesak hal-hal yang tidak dibahas oleh politisi di parlemen. Solusi nyata seperti pendidikan universal, redistribusi kekayaan, dan struktur politik partisipatif bisa memberdayakan.

Pemikiran kritis yang dipisahkan dari tindakan sosial seringkali sama kosongnya dengan tindakan yang dipisahkan dari pemikiran kritis. Kita membutuhkan politik dan pedagogi publik yang membuat pengetahuan bermakna untuk membuatnya kritis dan transformatif. 

Karikatur Darwinisme sosial, yang paling kaya yang bertahan. Sumber: philosophersforchange.org
Karikatur Darwinisme sosial, yang paling kaya yang bertahan. Sumber: philosophersforchange.org

Gagasan tentang pendidikan tinggi sebagai ruang publik yang demokratis sangat penting untuk proyek ini, terutama pada saat para pendukung neoliberalisme dan bentuk lain dari fundamentalisme politik dan agama mengantarkan era baru konformitas, kekejaman, dan pembuangan. Meskipun demikian, sebagai intelektual publik, akademisi bisa berbuat lebih banyak.

Pertama, para intelektual dapat menulis untuk banyak pembaca guna memperluas ruang publik, terutama melalui media baru, terkait berbagai masalah sosial termasuk hubungan antara serangan terhadap negara sosial dan penggundulan pendidikan tinggi. Perlu diingat, dalam masyarakat demokratis, pendidikan merupakan hak dan ini membutuhkan penataan ulang prioritas negara. 

Misalnya, anggaran militer dapat dipotong dua pertiga dan dana tersebut diinvestasikan sebagai gantinya untuk pendidikan umum dan pendidikan tinggi. Peningkatan anggaran pendidikan menunjukkan bahwa negara bertanggungjawab terhadap kesempatan belajar dan mengembangkan pemikiran kritis di universitas. 

Masalah terkait lainnya adalah kebutuhan intelektual publik untuk menjadi bagian dari gerakan sosial yang bertujuan membongkar kompleks industri penjara dan negara yang menghukum, yang menghabiskan dana miliaran dolar untuk memenjarakan orang ketika dana tersebut dapat digunakan untuk mendanai pendidikan publik dan tinggi atau dukungan sosial lainnya yang dapat membantu mencegah perilaku kriminal. 

Negara yang menghukum adalah ancaman yang mengerikan tidak hanya bagi publik dan pendidikan tinggi, tetapi juga, secara lebih luas, bagi demokrasi itu sendiri. Itu adalah pilar negara otoriter, meremehkan kebebasan sipil, mengkriminalisasi berbagai perilaku sosial yang terkait dengan masalah sosial yang konkret.

Kedua, akademisi, seniman, jurnalis, dan pekerja budaya lainnya perlu terus menyuarakan pekerja tidak tetap yang mengalami nasib buruk, baik di universitas maupun di perusahaan, serta warga masyarakat yang mengalami ketidaksetaraan besar dalam kekayaan dan pendapatan yang kini merusak setiap aspek politik dan masyarakat. 

Ketidaktetapan posisi telah menjadi senjata baik untuk mengeksploitasi pekerja paruh waktu, dan pekerja outsourcing serta untuk menekan protes dan perbedaan pendapat dengan membuat mereka dalam keadaan takut kehilangan pekerjaan. Banyak korporasi multinasional telah meninggalkan kontrak sosial dan sisa-sisa pendukung negara sosial. 

Mogok kerja pekerja akademis di salah satu universitas di AS. Sumber: https://socialistproject.ca
Mogok kerja pekerja akademis di salah satu universitas di AS. Sumber: https://socialistproject.ca

Mereka menjarah tenaga kerja dan melanggengkan mekanisasi kematian sosial setiap kali memiliki kesempatan untuk mengakumulasi modal. Para intelektual, seniman, jurnalis, dan pekerja budaya lain perlu menelaah dan menyebarluaskan bentuk baru perbudakan yang membunuh semangat sekaligus mendepolitisasi pikiran. 

Para otoriter baru tidak berkeliling dengan tank; mereka memiliki jet pribadi, mereka mendanai think tank sayap kanan, dan mereka melobi kebijakan reaksioner negara sambil mengisi rekening bank mereka dengan keuntungan besar. Mereka adalah perwujudan dari budaya keserakahan, kekejaman, dan pembuangan.

Ketiga, akademisi dapat memperjuangkan hak-hak mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan gratis, pendidikan yang tangguh dan kritis yang tidak didominasi oleh nilai-nilai perusahaan, untuk bisa bersuara dalam pembelajaran, dan untuk mengalami apa artinya memperluas dan memperdalam praktik kebebasan dan demokrasi. 

Kaum muda adalah individu baru yang tidak sempurna, populasi yang kekurangan pekerjaan, pendidikan yang layak, dan harapan masa depan yang lebih baik daripada yang diwariskan orang tua mereka. Mereka adalah pengingat bagaimana modal keuangan telah mengabaikan visi masa depan yang layak, termasuk visi yang akan mendukung generasi mendatang. 

Ini adalah modus politik dan modal yang memakan anak-anaknya sendiri dan melemparkan nasib mereka pada liku-liku pasar. Jika suatu masyarakat sebagian dinilai dari cara memandang dan memperlakukan anak-anaknya, masyarakat AS dengan segala cara telah benar-benar gagal secara kolosal dan, dengan melakukan itu, memberikan gambaran sekilas tentang ketidakberdayaan inti dari otoritarianisme baru.

Keempat, intelektual publik juga harus mengatasi dan menolak pergeseran yang sedang berlangsung dalam hubungan kekuasaan antara fakultas dan kelompok manajerial. Kelompok manajerial mengendalikan tata kelola perguruan tinggi dengan menekankan pada capaian-capaian yang dibutuhkan korporasi, tetapi mengabaikan banyak hal yang dibutuhkan masyarakat. 

Karikatur mengkritisi privatisasi pendidikan di AS. Sumber: litci.org
Karikatur mengkritisi privatisasi pendidikan di AS. Sumber: litci.org

Terlalu banyak fakultas sekarang diabaikan dan dihapus dari struktur tata kelola pendidikan tinggi dan sebagai dampaknya adalah kesengsaraan upah yang rendah, beban kelas yang berlebihan, tidak ada perawatan kesehatan, dan sedikit, jika ada, tunjangan sosial. 

Ini memalukan dan bukan hanya menjadi masalah sistem pendidikan tetapi masalah yang sangat politis, yang harus membahas bagaimana ideologi dan kebijakan neoliberal telah memaksakan struktur tata kelola antidemokrasi pada pendidikan tinggi yang meniru kekuatan otoriter yang lebih luas yang sekarang mengancam AS.

Kelima,  perjuangan untuk mengubah pendidikan tinggi tidak dapat dilancarkan secara ketat di dalam tembok institusi oleh fakultas dan mahasiswa saja. 

Seperti yang telah dijelaskan oleh gerakan sosial radikal baru-baru ini di Spanyol, Portugal, dan India, ada kebutuhan akan formasi sosial dan politik baru di antara fakultas, serikat pekerja, kaum muda, pekerja budaya, dan yang terpenting gerakan sosial, yang semuanya perlu diorganisir sebagian untuk mempertahankan barang publik dan apa yang bisa disebut cita-cita demokrasi radikal. 

Setiap perjuangan melawan kekuatan anti-demokrasi yang memobilisasi sekali lagi di seluruh dunia harus mengakui bahwa kekuasaan bukanlah global dan politik bersifat lokal. 

Elit keuangan sekarang beroperasi dalam arus dan ruang modal internasional dan tidak memiliki kesetiaan kepada negara-bangsa dan dapat memaksakan kehendak keuangan mereka pada negara-negara yang dieksploitasi. 

Maka, perlawanan harus mengatasi pembentukan kekuatan baru ini dan berpikir serta mengatur lintas batas negara. Perlawanan di tingkat global bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan.

Meskipun tulisan Giroux berbasis kondisi menyedihkan di AS, pemikiran-pemikirannya bisa kita jadikan untuk melihat kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Di akui atau tidak, perlahan tapi pasti mekanisme neoliberal yang menekankan kepada privatisasi dan korporatisasi pendidikan tinggi tengah berlangsung di Indonesia. 

Pemberian hibah penelitian yang mendukung keperluan industri dan pemangkasan anggaran penelitian humaniora yang mengedepankan penelitian kritis menjadi bukti betapa pendidikan tinggi kita sejatinya mulai membiasakan diri dengan neoliberalisme. 

Dampaknya, semakin banyak pakar yang berlomba-lomba menciptakan temuan untuk dijual kepada pemodal besar dalam skema industri, alih-alih membawa temuan mereka ke tengah-tengah masyarakat untuk membantu mereka berdaya di tengah-tengah permasalahan yang terjadi. 

Para pakar menulis dalam banyak jurnal internasional untuk mendapatkan insentif berupa bonus, memudahkan kenaikan pangkat, dan pengakuan luas, tetapi tidak begitu mengindahkan kepentingan masyarakat. 

Ini tentu bisa menjadi masalah serius, karena universitas yang merupakan institusi penumbuh demokrasi dan tempat para akademisi terlibat secara serius dalam bermacam permasalahan publik lebih diarahkan kepada kepentingan pemodal, alih-alih warga masyarakat yang membutuhkan mereka.  

Program magang mahasiswa di perusahaan melalui sistem konversi dengan matakuliah teori yang bisa memperkaya pengetahuan dan nalar kritis mahasiswa bisa berdampak buruk pada kurangnya penguasaan terhadap permasalahan keilmuan dan masyarakat. Mekanisme tersebut akan mengkerdilkan fungsi universitas dalam menumbuhkan nalar kritis dan kepekaan sosial.

Rujukan

Giroux, Henry A. 2014. Neoliberalism's War on Higher Education. Chicago: Haymarket Books.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun