Kelima, Â perjuangan untuk mengubah pendidikan tinggi tidak dapat dilancarkan secara ketat di dalam tembok institusi oleh fakultas dan mahasiswa saja.Â
Seperti yang telah dijelaskan oleh gerakan sosial radikal baru-baru ini di Spanyol, Portugal, dan India, ada kebutuhan akan formasi sosial dan politik baru di antara fakultas, serikat pekerja, kaum muda, pekerja budaya, dan yang terpenting gerakan sosial, yang semuanya perlu diorganisir sebagian untuk mempertahankan barang publik dan apa yang bisa disebut cita-cita demokrasi radikal.Â
Setiap perjuangan melawan kekuatan anti-demokrasi yang memobilisasi sekali lagi di seluruh dunia harus mengakui bahwa kekuasaan bukanlah global dan politik bersifat lokal.Â
Elit keuangan sekarang beroperasi dalam arus dan ruang modal internasional dan tidak memiliki kesetiaan kepada negara-bangsa dan dapat memaksakan kehendak keuangan mereka pada negara-negara yang dieksploitasi.Â
Maka, perlawanan harus mengatasi pembentukan kekuatan baru ini dan berpikir serta mengatur lintas batas negara. Perlawanan di tingkat global bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan.
Meskipun tulisan Giroux berbasis kondisi menyedihkan di AS, pemikiran-pemikirannya bisa kita jadikan untuk melihat kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Di akui atau tidak, perlahan tapi pasti mekanisme neoliberal yang menekankan kepada privatisasi dan korporatisasi pendidikan tinggi tengah berlangsung di Indonesia.Â
Pemberian hibah penelitian yang mendukung keperluan industri dan pemangkasan anggaran penelitian humaniora yang mengedepankan penelitian kritis menjadi bukti betapa pendidikan tinggi kita sejatinya mulai membiasakan diri dengan neoliberalisme.Â
Dampaknya, semakin banyak pakar yang berlomba-lomba menciptakan temuan untuk dijual kepada pemodal besar dalam skema industri, alih-alih membawa temuan mereka ke tengah-tengah masyarakat untuk membantu mereka berdaya di tengah-tengah permasalahan yang terjadi.Â
Para pakar menulis dalam banyak jurnal internasional untuk mendapatkan insentif berupa bonus, memudahkan kenaikan pangkat, dan pengakuan luas, tetapi tidak begitu mengindahkan kepentingan masyarakat.Â
Ini tentu bisa menjadi masalah serius, karena universitas yang merupakan institusi penumbuh demokrasi dan tempat para akademisi terlibat secara serius dalam bermacam permasalahan publik lebih diarahkan kepada kepentingan pemodal, alih-alih warga masyarakat yang membutuhkan mereka. Â
Program magang mahasiswa di perusahaan melalui sistem konversi dengan matakuliah teori yang bisa memperkaya pengetahuan dan nalar kritis mahasiswa bisa berdampak buruk pada kurangnya penguasaan terhadap permasalahan keilmuan dan masyarakat. Mekanisme tersebut akan mengkerdilkan fungsi universitas dalam menumbuhkan nalar kritis dan kepekaan sosial.