Apa yang tak kalah pentingnya adalah kebutuhan para pendidik dan generasi muda untuk mengambil tantangan mempertahankan universitas.Â
Karena, ketika universitas tidak lagi secara serius memosisikan perannya sebagai penjaga kebebasan sipil yang lebih luas, sebagai penyelidik masalah etika yang semakin kompleks, sebagai pelayan dan pemelihara praktik demokrasi yang lebih dalam, maka akan ada kekuatan lain yang akan melakukannya untuk universitas, tetapi terlepas dari universitas, dan tanpa universitas.Â
Dalam kondisi demikian, bidang humaniora bisa menempatkan dirinya sebagai kekuatan strategis. Mempertahankan humaniora berarti lebih dari sekadar menawarkan ruang akademik bagi mahasiswa untuk mempelajari sejarah, filosofi, seni, bahasa, dan sastranya.Â
Mempertahankan humaniora juga berarti mengajak mahasiswa untuk memahami pentingnya bidang studi ini jika mereka ingin dapat membuat klaim apa pun untuk menjadi agen individu dan sosial yang kritis dan terlibat di dalam permasalahan di masyarakat.Â
Selain itu, bidang humaniora juga memberikan pengetahuan, keterampilan, hubungan sosial, dan bentuk pedagogi yang merupakan budaya formatif di mana pelajaran sejarah demokratisasi dapat dipelajari, tuntutan tanggung jawab sosial dapat dilibatkan secara serius, imajinasi dapat diperluas, dan pemikiran kritis dapat dikuatkan.Â
Ini tentu bertentangan dengan posisi perguruan tinggi sebagai pelengkap kompleks akademik-industri, di mana pembelajaran tidak ada hubungannya dengan mengajar mahasiswa bagaimana berpikir untuk diri mereka sendiri dalam demokrasi, bagaimana berpikir kritis dan terlibat dengan orang lain, dan bagaimana menangani melalui mekanisme demokrasi yang menghargai hubungan antara diri mereka sendiri dan dunia yang lebih besar.Â
Apa yang dibutuhkan saat ini adalah menumbuhkan revolusi permanen terkait makna dan tujuan pendidikan tinggi. Para akademisi, lebih dari bergerak melampaui bahasa kritik dan wacana kemarahan moral dan politik, harus mau membuat pertahanan individu dan kolektif yang berkelanjutan untuk terus mejadikan universitas sebagai ruang publik penting pusat demokrasi itu sendiri.
Para akademisi harus menolak gagasan yang mengidealisasi universitas dalam model pembelajarannya mengabaikan pemikiran-pemikiran kritis dan keterlibatan sosial serta semata-mata mengutamakan luaran yang sesuai dengan kepentingan korporasi.Â
Publik tampaknya telah menyerah pada gagasan untuk mendanai pendidikan tinggi atau menilainya sebagai barang publik yang sangat diperlukan untuk kehidupan demokrasi yang layak.Â
Hal ini semakin menjadi alasan bagi para akademisi untuk berada di garis depan koalisi aktivis, pegawai negeri, dan lainnya dalam menolak pertumbuhan manajemen korporat pendidikan tinggi dan mengembangkan wacana baru di mana universitas, dan khususnya humaniora, dapat dipertahankan sebagai institusi sosial dan publik yang vital dalam masyarakat demokratis.Â