Serangan terhadap Pendidikan Tinggi
Salah satu kebijakan tidak manusiawi sebagai dampak tatanan neoliberal dalam kepemerintahan adalah kategoriasi penduduk, terutama mereka yang terpinggirkan karena perbedaan kelas, ras, etnis, atau status imigrasi, sebagai kelebihan populasi yang harus disingkirkan dari lingkungan sosial.Â
Kategori penduduk tersebut menjadi sasaran pengawasan aparat dan institusi negara, bahkan sasaran kekerasan dan penyiksaan atas nama ketertiban sosial. Politik disposabilitas menggambarkan kategori penduduk ini tidak layak untuk diberikan anggaran dalam pelayanan sosial atau tidak layak untuk berbagi hak, manfaat, dan perlindungan dari demokrasi substantif.Â
Apa yang cukup meresahkan adalah kurangnya oposisi di kalangan publik terhadap pandangan bahwa kelompok sosial tertentu dapat disingkirkan, sebagai salah satu penanda kehadiran otoritarianisme di AS dan negara-negara demokratis lainnya.Â
Jika dibiarkan, mekanisme neoliberal tidak hanya akan menghancurkan tatanan sosial dan melemahkan demokrasi, tetapi juga akan memarjinalisasikan para intelektual yang bersedia memperjuangkan nilai, hak, ruang, dan institusi publik yang tidak terikat dengan logika privatisasi, komodifikasi, deregulasi, dan perjuangan kompetitif yang kejam di mana  hanya yang terkuat yang bisa bertahan.Â
Budaya baru kekejaman dan pembuangan/pengabaian sosial ini menjadi ciri khas kekuasaan neoliberal dan akan mendatangkan kehancuran dengan cara yang belum terbayangkan. Semua bukti menunjukkan bahwa realitas baru sedang terungkap, yang ditandai dengan krisis pendidikan, agensi, dan tanggung jawab sosial yang mengakar.
Serangan saat ini yang mengancam pendidikan tinggi dan bidang humaniora khususnya tidak dapat dipahami di luar krisis ekonomi, politik, dan kekuasaan. Proses sejarah baru ini terbukti dengan semakin banyak kelompok yang dianggap dapat dibuang, runtuhnya nilai-nilai publik, perang terhadap kaum muda, dan serangan oleh korporasi ultra kaya dan besar terhadap demokrasi itu sendiri.Â
Keadaan darurat ini ditandai dengan kurangnya (a) perhatian kepada penanganan masalah sosial akut, (b) perlindungan sosial bagi yang kurang beruntung, (c) mengembangkan ruang publik yang ditujukan untuk mempromosikan kebaikan bersama, dan (b) perlindungan bidang pendidikan yang memungkinkan untuk memperdalam pengetahuan, keterampilan, dan model perwakilan yang diperlukan agar demokrasi substantif bisa berkembang lebih baik.Â
Bentuk ancaman nyata terhadap pendidikan tinggi dan humaniora khususnya adalah meningkatnya laju korporatisasi universitas, pemadaman kebebasan akademik, munculnya kelompok manajerial yang membengkak, dan pandangan bahwa mahasiswa pada dasarnya adalah konsumen dan fakultas penyedia komoditas yang dapat dijual seperti seperangkat keterampilan di tempat kerja.Â
Yang lebih mencolok lagi adalah kematian pelan-pelan universitas sebagai pusat kritik, sumber vital pendidikan kewarganegaraan, dan barang publik yang penting.