Perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi proses-proses sosial, seperti kolonialisasi, migrasi, dan globalisasi, telah menjadikan bertemunya banyak identitas kultural dan menghasilkan perdebatan teoretis.
Di dalam proses interaksi dan komunikasi tentu memunculkan wacana-wacana dan tanda-tanda kultural baru yang kemudian bisa menjadi medan diskursif bagi pembentukan kedirian kultural masing-masing mereka yang terlibat.
Pertanyaan tentang identitas budaya, kemudian, tidak bisa semata-mata dibicarakan dari identitas kultural awal yang diposisikan sebagai esensi dari subjek.
Hall secara kritis menjelaskan bahwa identitas haruslah dikonseptualisasikan sebagai hubungan di antara subjek-subjek dan praktik-praktik diskursif yang lebih luas (dikutip Durham, 2004: 141).Senada dengan Hall, Clifford (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) dengan panjang lebar memaparkan betapa sulitnya menemukan kemurnian kultural seperti yang dibayangkan oleh esensialisme kultural.
Abad ke-21 ditandai pudarnya keutamaan-keutamaan yang pemahaman Barat tentang bahasa dan budaya yang menempatkannya dalam posisi superior. Objek dan dasar epistemologis tersebut sekarang muncul sebagai konstruk, menjelma fiksi, yang memuat keragaman cara berbahasa dan berbudaya.
Dalam sebuah jagat di mana terlalu banyak suara yang berbicara secara bersamaan, kita juga menyaksikan tumbuhnya jagat urban, multinasional dari transpengetahuan, di mana pakaian Amerika yang dibuat di Korea dipakai oleh anak muda Rusia, di mana akar setiap orang pada setiap tingkatan terpotong. Dalam jagat yang seperti itu, sangatlah sulit untuk melekatkan makna dan identitas manusia pada 'budaya' dan 'bahasa' yang koheren.
Masih dalam pemikiran senada, Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) menjabarkan bahwa kita hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan; oleh imperilaisme agama, ekonomi, dan politis serta turunan-turunannya; oleh migrasi massa dan penyebaran pengaruh kultural.
Dalam konteks tersebut, mengikatkan seseorang dalam praktik-praktik tradisional bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini.
Sifat artifisial tersebut dibuktikan oleh fakta bahwa keterikatan seringkali mensyaratkan dukungan khusus dan kondisi ekstraordiner bagi mereka yang hidup dalam jagat di mana budaya dan praktik tidak bergerak dari satu sama lain.