Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hibriditas Budaya: Konsep, Strategi, dan Implikasi

24 Maret 2023   00:12 Diperbarui: 24 Maret 2023   11:47 4244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni instalasi “Fish Net Stockings” karya Joellyn Rock & Alison Aune menggunakan media hibrid. Foto: Joellyn Rock. Sumber: https://www.uib.no

Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat lokal dengan kecenderungannya masing-masing. Namun demikian, hibridisasi budayalah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat. 

Masyarakat lokal sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan dinamis. 

Sumber: https://www.amberroblesgordon.com
Sumber: https://www.amberroblesgordon.com

Realitas hibriditas budaya tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik industrial di negara-negara pascakolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional mereka. 

Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika. Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis, hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded, meskipun diproduksi di dalam negeri. 

Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit, jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi. 

Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih maju.

Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi, terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya, dari televisi hingga internet, yang menawarkan banyak 'nilai-nilai pencerahan' bagi masyarakat lokal. 

Rujukan

Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”. Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander (Ed). The New Social Theory Reader: Contemporary Debates. London: Routledge.

Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin. 1995.  “General Introduction.” Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (Ed). The post-colonial studies reader. London: Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun