Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat lokal dengan kecenderungannya masing-masing. Namun demikian, hibridisasi budayalah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat.
Masyarakat lokal sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan dinamis.
Realitas hibriditas budaya tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik industrial di negara-negara pascakolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional mereka.
Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika. Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis, hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded, meskipun diproduksi di dalam negeri.
Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit, jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi.
Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih maju.
Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi, terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya, dari televisi hingga internet, yang menawarkan banyak 'nilai-nilai pencerahan' bagi masyarakat lokal.
Rujukan
Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”. Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander (Ed). The New Social Theory Reader: Contemporary Debates. London: Routledge.
Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin. 1995. “General Introduction.” Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin (Ed). The post-colonial studies reader. London: Routledge.