Kesamaan tersebut mentransendenkan perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan pengorganisasian kolektif dalam setting yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah, komuniti, dan tempat kerja.
Memang, politik identitas menjadikan orang dari dengan perbedaan historis, keturunan, dan budaya mengalami komonalitas berbasis kelas dari perspektif yang berbeda, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa.
Sebagai contoh, minoritas etnik dan rasial kelas pekerja, khususnya dari strata miskin, membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan, dan lain-lain.
Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan potensial bagi kekuatan politik.
Juga bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim "diskriminasi berbalik" dan "pembenaran politik".
Esensialisme identitas kultural, dengan demikian, bisa menjadi senjata untuk kepentingan politis tertentu dengan mengatasnamakan kepentingan bersama. Penggunaan atribut-atribut kultural yang diasumsikan sebagai ciri khas komunitas tertentu, bisa menjadi senjata politis efektif karena anggota komunitas tersebut juga memiliki kedekatan satu sama lain melalui kesamaan identitas kultural.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesamaan identitas kultural, tetapi ketika kesamaan tersebut lebih dimaknai dalam kepentingan politis, esensialisme kultural hanya menjadi topeng pihak-pihak tertentu untuk berkuasa dan tetap menjadi dominan dalam masyarakat.
Kita tentu masih ingat bagaimana mobilisasi identitas telah menyebabkan perang berdarah di Yugoslavia dan memecah negara besar itu menjadi beberapa negara berdaulat setelah mengorbankan ribuan warga sipil.
Begitupulan konflik berdarah di Ambon yang juga mengusung identitas religi untuk melegitimasi peperangan sesama warga Maluku. Perang di Sampit antara Dayak dan Madura juga menggunakan isu identitas.
Esensialisme kultural yang selalu membayangkan adanya kemurnian, pada kenyataannya, memang sangat sulit untuk diwujudkan meskipun beberapa pihak politis berusaha untuk mempolitisirnya.