Pengaruh diskursif tersebut bisa saja disepakati sebagai proses yang natural dengan mengimpikan teks dan praktik kultural bangsa bekas penjajah sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti oleh bangsa eks-terjajah ataupun dilawan dengan beragam strategis, siasat, dan taktik, baik dalam ranah budaya, ekonomi, hukum, religi, ekonomi, sosial, maupun politik.
Keluasan ragam teks dan praktik bangsa pascakolonial itulah yang menjadi ranah kajian pascakolonial dewasa ini. Aschroft, dkk (1995: 2) memaparkan bahwa terma pascakolonial berkembang luas dengan disertai ambiguitas dan kompleksitas dari banyak pengalaman pengalaman budaya berbeda di mana ia berimplikasi.
Kajian pascakolonial diarahkan pada semua aspek dari proses kolonial dari awal kontak kolonial hingga sesudahnya. Kritik dan teori poskolonial harus menimbang implikasi menyeluruh dari pembatasan makna 'setelah-kolonialisme' atau setelah-kemerdekaan.
Semua masyarakat poskolonial masihlah menjadi subjek dalam satu cara atau cara lain bagi bentuk yang tak kentara atau menipu dari dominasi neo-kolonial, sehingga kemerdekaan tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah tersebut.
Perkembangan elit-elit baru di dalam masyarakat merdeka, seringkali didukung oleh institusi-institusi neo-kolonial: perkembangan pembagian internal berdasarkan diskriminasi rasial, linguistik, atau religius serta keberlanjutan perlakuan yang tidak sama terhadap masyarakat pribumi dalam masyarakat masyarakat pendatang atau penginvasi.
Semua persoalan tersebut membuktikan fakta bahwa pascakolonialisme merupakan proses berlanjut dari resistensi dan rekonstruksi. Hal tersebut tidak mengimplikasikan bahwa praktik-praktik poskolonial bersifat mandeg dan homogen, tetapi mengindikasikan ketidakmungkinan untuk semata-mata memahami berbagai bagian dari proses kolonial tanpa menimbang para pendahulu (apa-apa yang terjadi pada masa kolonial, pen) dan konsekuensinya.
Pemikiran di atas, paling tidak menghadirkan beberapa pemahaman tentang kajian pascakolonial. Pertama, istilah pascakolonial bukan semata-mata dipahami sebagai proses keterjajahan sebuah bangsa selama masa kolonial, tetapi bisa jadi berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan: terjajah dan pernah terjajah.
Kedua, untuk memahami kondisi masyarakat pascakolonial, seorang peneliti juga harus mempunyai pengetahuan tentang proses kolonialisasi yang terjadi pada masa kolonial sebuah bangsa atau masyarakat. Artinya terdapat "proses kontinyu" dari wacana dan praktik yang ada pada masa kolonial hingga saat ini yang diwarnai dengan rekonstruksi dan resistensi.
Rekonstruksi dimaksudkan sebagai proses kolonial yang masih berlangsung setelah kemerdekaan yang berasal dri kuasa diskursif wacana, pengetahuan, dan praktik yang pernah terjadi dalam masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini serta mempengaruhi proses dan praktik sosio-kultural yang ada.
Sementara resistensi berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan perlawanan terhadap kuasa diskursif tersebut. Hal itulah yang menjadikan kajian pascakolonial tidak terjebak dalam satu fokus, tetapi sangat beragam, dari migrasi, perbudakan, resistensi, representasi, perbedaan, ras, gender, lokasi, serta respons terhadap wacana tuan dari imperial Eropa.