Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut mereka, dengan pendidikan yang baik, anak-anak akan bebas untuk memilih masa depannya; apakah kembali ke Tengger atau hidup di kota. 

Orientasi ideologis untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya juga dilontarkan seorang ibu single parent. Ia sangat ingin menguliahkan anak semata wayangnya yang kini duduk di bangku SMA karena ia mempunyai kekuatan ekonomi dengan ladang dari warisan orang tuanya yang selalu menghasilkan rejeki melimpah ketika panen (Wawancara, 22 Juli 2006). 

Pendidikan modern memang menjadi wacana hegemonik bagi masyarakat Tengger, namun mereka tetap tidak melupakan pendidikan tradisi yang bisa diperoleh anak-anaknya dengan terlibat dalam ritual maupun wejangan-wejangan orang tua, terutama ibu.

Panen Melimpah, Slametan Meriah

Slametan dalam tradisi masyarakat Tengger sudah menjadi kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan siklus kehidupan manusia; dari lahir hingga mati. Meskipun demikian, terdapat beberapa slametan yang bersifat besar dalam kategori pelaksanaannya, yakni Kasada, Entas-entas, Unan-unan, Walagara, dan Karo. 

Di antara slametan tersebut, Entas-entas merupakan ritual yang membutuhkan biaya lumayan besar. Entas-entas merupakan upacara terakhir kematian bagi warga Tengger. Tidak seperti pemeluk Hindu di Bali yang melaksanakan ngaben, wong Tengger melakukan ritual yang berbeda, meskipun maksudnya sama. 

Jasad tetap dikubur dengan kepala menghadap ke arah Gunung Bromo. Adapun yang dibakar adalah boneka yang terbuat dari tumbuhan semak dan batang pepohonan (petra). Boneka ini mewakili jasad orang yang sudah meninggal. Pelaksanaan ritual ini biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah jasad dikubur. 

Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum
Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum

Alasan utamanya jelas faktor ekonomi karena ritual ini membutuhkan biaya yang lumayan banyak sehingga pihak keluarga membutuhkan waktu untuk menabung terlebih dahulu mengingat harga barang-barang yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan ritual. 

Banyaknya biaya yang dibutuhkan biasanya disiasati dengan pelaksanaan Entas-entas secara bersamaan oleh beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan kerabat sehingga ada beberapa arwah yang dientas dalam satu kali ritual.

Sewaktu mengikuti ritual Entas-entas yang dilaksanakan sebelum ritual Walagara (pernikahan) pada bulan Juli 2006 yang diselenggarakan oleh salah satu kepala desa Tengger dan beberapa kerabatnya, saya tidak bisa memperoleh data pasti berapa anggaran yang diperlukan karena bagi wong Tengger mengungkapkan besarnya biaya bisa masuk kategori kurang sopan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun