Praktik pertanian yang dulunya oleh pemerintah kolonial digunakan untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka dan penduduk asing lain, seperti Eropa, China dan Arab, ternyata bisa dimaknai kembali oleh warga Tengger untuk kepentingan ekonomi yang secara ideologis berlandaskan pada kearifan mereka sendiri.Â
Intensifikasi pertanian dengan pengguanaan pupuk dan bibit unggul sebagai bagian revolusi hijau rezim Orba untuk memenuhi ambisi politik pangan demi terciptanya stabilitas nasional dan percepatan pertumbuhan ekonomi, bagi orang Tengger bukan dibaca strategi diskursif penaklukan oleh negara.Â
Alih-alih, intensifikasi pertanian digunakan untuk mengoptimalkan penghasilan finansial mereka demi memantapkan kekuatan ekonomi keluarga yang akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian maksimal setya laksana. Â
Ambivalensi memang terjadi dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger. Mereka saat ini bukan lagi orang-orang gunung yang cukup tinggal di rumah berbahan kayu cemara gunung. Rumah tembok menghiasi lanskap pegunungan seperti sebuah mozaik yang menempel pada sebuah kertas.Â
Pada tahun 2006, ketika masuk ke rumah Kepala Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Probolinggo, saya merasa seperti masuk ke dalam rumah orang kota. Televisi, almari, sofa, lantai keramik maupun pernik-pernik hiasan dinding tertata dengan rapi.
Semua gambaran tentang warga Tengger yang sederhana, sejenak sirna ketika melihat keberadaan perabot itu. Menurut istri kepala desa, semua perabot itu tidak dihasilkan dari jabatan suaminya sebagai seorang Kades, melainkan dari hasil panen kentang dan wortel yang melimpah dengan harga jual yang lumayan sebagai imbalan dari kerja keras mereka berdua di ladang (Wawancara, 2 Juni 2006).Â
Meskipun demikian, di ruang tengah tetap disediakan tungku sebagai penghangat percakapan yang berlangsung dengan para tamu Pak Kades, karena hawa dingin pegunungan Tengger tentu tidak bisa diusir dengan kompor minyak tanah ataupun kompor gas.
Apa yang terlihat dari rumah kepala desa, bisa diinterpretasikan sebagai sebuah penanda yang menunjukkan bahwa rumah ala orang kota telah menjadi orientasi ideologis baru bagi wong Tengger ketika mereka berusaha mewujudkan konsepsi wisma yang ideal.Â
Rumah modern yang dulu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kota kaya, ternyata telah menjadi ruang hunian keseharian bagi keluarga Tengger dengan adanya revolusi hijau dan kerja keras di ladang.Â
Memang tidak semua keluarga Tengger bisa menikmati fasilitas seperti yang terdapat di rumah Pak Kades, minimal, rumah mereka yang berstatus ekonomi rendah maupun menengah tetap terbuat dari tembok, dan sangat sedikit yang terbuat dari kayu. Namun, apa yang harus diperhatikan dari realitas tersebut adalah adanya transformasi ideologi kultural-tradisional dari konsep wisma.Â
Masyarakat Tengger yang semakin sering melihat praktik modernitas dari pemaknaan sebuah rumah di wilayah bawah, kota, maupun televisi, berusaha meniru dan mengaplikasikan dalam bangunan rumah mereka, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena mereka masih mempertahankan karakteristik lama dari sebuah rumah; tungku di dapur maupun ruang tamu untuk menghangatkan tubuh.Â