Pertama, karena terlalu menekankan perbedaan dan keragaman budaya, multikulturalisme cenderung mengabaikan realitas ketidakadilan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat metropolitan.
Akibatnya, ada pandangan yang membenarkan bahwa masalah sosial seperti kemiskinan yang dialami oleh kelompok minoritas lebih disebabkan oleh masalah dan beban budaya yang mereka geluti.
Kedua, terlepas dari apresiasi dan pengakuan perbedaan budaya, multikulturalisme tetap mempersepsikan budaya dan ras minoritas. sebagai Liyan, sambil memposisikan mayoritas kulit putih tidak terlihat di latar belakang, memungkinkan pengurangan masalah rasial.
Kecenderungan multikulturalisme Amerika yang menetralisir secara politis menyiratkan bahwa keragaman budaya dapat diterima dan dirayakan sejauh tidak mengganggu pembentukan struktur kekuasaan yang masih memungkinkan kulit putih menjadi dominan.
Ketiga, multikulturalisme AS memang mampu membangun citra dan wacana “Amerika” sebagai ruang ekspresi warga negara yang multietnik dan beragama sambil berjuang mewujudkan cita-cita idealnya.
Namun, pengalaman hidup banyak penduduk diaspora dan imigran menunjukkan bahwa di AS masih terdapat diskriminasi rasial, eksploitasi tenaga kerja, dan marginalisasi sosial ekonomi yang seringkali ditujukan pada ketidakmampuan kaum minoritas untuk mengembangkan kapasitas dan mengatasi hambatan budaya.
Sebagai latar belakang kontekstual dari proses sastrawi, permasalahan dan peluang hidup dalam kondisi multikultural yang dialami oleh individu-individu diasporik dari negara-negara berkembang, para sastrawan diasporik memiliki cara pandang yang kreatif dan kritis dalam mengisahkan kompleksitas budaya.
Mereka juga memiliki pertimbangan khusus dalam menulis soal hidup dalam keragaman budaya di mana individu-individu dari Asia, Afrika, Amerika Latin, atau Karibia harus memainkan subjektivitas secara fleksibel, terutama dalam menghadapi budaya dominan kulit putih dan budaya etnis lainnya.
Selain itu, tidak sedikit penulis yang mengalami masalah serupa, bahkan lebih pelik, seperti tragedi politik berdarah yang memaksa mereka atau keluarganya bermigrasi ke negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan negara-negara Eropa Barat.
Nostalgia dan mengingat kenangan di tanah air mereka dan realitas rumit dan masalah yang mereka temukan di kota metropolitan menjadi sumber kreatif penting bagi penulis diaspora (Walder, 2011).
Membandingkan kerumitan masalah politik, ekonomi, dan sosial di negara asal dengan kehidupan demokrasi di negara induk seringkali melahirkan perspektif liberal yang mengakomodasi nilai-nilai Barat, meskipun belum sepenuhnya menghilangkan subjektivitas asli dalam lalu lintas multikultural.