Memang ada beberapa penelitian sebelumnya yang memfokuskan pada ludruk sebagai kajiannya. Peacock (1968), misalnya, meneliti ludruk dan kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan penyebaran nilai-nilai modern, namun fokus waktunya belum sampai pada periode pasca-Soekarno.Â
Dengan aksentuasi yang berbeda, Supriyanto (1992) memperhatikan aspek sejarah, cerita, dan estetika dalam pertunjukan ludruk. Ia juga menyatakan pentingnya cerita-cerita perlawanan dalam setting kolonial sebagai pembelajaran publik, khususnya untuk mengkritisi otoritas represif yang menyengsarakan kelas bawah.Â
Kendati demikian, ia tidak mengkritisi mengapa cerita perlawanan terhadap penjajah sangat populer di masa Orde Baru. Samidi (2006) membahas hubungan antara penonton dan perkembangan dua jenis teater tradisional, yaitu ludruk dan wayang wong (drama yang menampilkan cerita Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Jawa Keraton) di Surabaya dari tahun 1950-1965.Â
Kehadiran penonton di pertunjukan adalah aspek penting, terutama dalam memberikan dukungan keuangan bagi anggota rombongan. Konsekuensinya, rombongan harus membuat para penggemarnya merasa senang sekaligus menaati peraturan pemerintah setempat.Â
Kajian-kajian penelitian terdahulu tersebut, setidaknya, menunjukkan belum banyaknya kajian terkait ludruk dari sudut pandang kritis, yang menitikberatkan pada operasi kekuasaan melalui pertunjukan dan kaitannya dengan lingkungan politik dan budaya yang lebih luas.
Artikel ini membahas tentang transformasi pertunjukan ludruk pada masa pascakolonial, dari masa rezim Soekarno ke masa rezim Reformasi, dan kaitannya dengan konteks sejarah, yaitu kondisi sosial ekonomi dan formasi politik-ideologis.Â
Saya memiliki kerangka yang berbeda dari Subiyantoro (2010) yang memahami transformasi sebagai perubahan struktur permukaan, bukan struktur dalam, tanpa memperhitungkan prosesnya yang rumit.Â
Transformasi, bagi saya, menunjukkan perubahan wacana dalam cerita dan elemen pertunjukan sebagai cara menyesuaikan tren budaya, seperti model pementasan dan penambahan pertunjukan musik interaktif, meskipun struktur pertunjukannya tidak berubah.Â
Memodifikasi perspektif Aschroft (2002; 2001), saya menganggap transformasi sebagai apropriasi yang disengaja atas wacana dan praktik baru yang dilakukan oleh aktor lokal (dalam hal ini seniman ludruk) sebagai terobosan strategis dan fleksibel di tengah perubahan ekonomi, budaya, sosial, dan politik.Â
Dalam kasus tertentu, pemahaman tersebut akan membuat mereka terlibat dalam ideologi dominan. Dengan konsepsi tersebut, saya menemukan beberapa permasalahan untuk dibahas sebagai berikut. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!