Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Transformasi Ludruk: Keterlibatan Politik, Hegemoni Negara, dan Strategi Survival

9 Februari 2023   00:02 Diperbarui: 19 Februari 2023   09:22 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan Ludruk Karya Budaya di Gresik. Dokumentasi penulis

Memang ada beberapa penelitian sebelumnya yang memfokuskan pada ludruk sebagai kajiannya. Peacock (1968), misalnya, meneliti ludruk dan kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan penyebaran nilai-nilai modern, namun fokus waktunya belum sampai pada periode pasca-Soekarno. 

Dengan aksentuasi yang berbeda, Supriyanto (1992) memperhatikan aspek sejarah, cerita, dan estetika dalam pertunjukan ludruk. Ia juga menyatakan pentingnya cerita-cerita perlawanan dalam setting kolonial sebagai pembelajaran publik, khususnya untuk mengkritisi otoritas represif yang menyengsarakan kelas bawah. 

Kendati demikian, ia tidak mengkritisi mengapa cerita perlawanan terhadap penjajah sangat populer di masa Orde Baru. Samidi (2006) membahas hubungan antara penonton dan perkembangan dua jenis teater tradisional, yaitu ludruk dan wayang wong (drama yang menampilkan cerita Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Jawa Keraton) di Surabaya dari tahun 1950-1965. 

Kehadiran penonton di pertunjukan adalah aspek penting, terutama dalam memberikan dukungan keuangan bagi anggota rombongan. Konsekuensinya, rombongan harus membuat para penggemarnya merasa senang sekaligus menaati peraturan pemerintah setempat. 

Kajian-kajian penelitian terdahulu tersebut, setidaknya, menunjukkan belum banyaknya kajian terkait ludruk dari sudut pandang kritis, yang menitikberatkan pada operasi kekuasaan melalui pertunjukan dan kaitannya dengan lingkungan politik dan budaya yang lebih luas.

Artikel ini membahas tentang transformasi pertunjukan ludruk pada masa pascakolonial, dari masa rezim Soekarno ke masa rezim Reformasi, dan kaitannya dengan konteks sejarah, yaitu kondisi sosial ekonomi dan formasi politik-ideologis. 

Saya memiliki kerangka yang berbeda dari Subiyantoro (2010) yang memahami transformasi sebagai perubahan struktur permukaan, bukan struktur dalam, tanpa memperhitungkan prosesnya yang rumit. 

Transformasi, bagi saya, menunjukkan perubahan wacana dalam cerita dan elemen pertunjukan sebagai cara menyesuaikan tren budaya, seperti model pementasan dan penambahan pertunjukan musik interaktif, meskipun struktur pertunjukannya tidak berubah. 

Memodifikasi perspektif Aschroft (2002; 2001), saya menganggap transformasi sebagai apropriasi yang disengaja atas wacana dan praktik baru yang dilakukan oleh aktor lokal (dalam hal ini seniman ludruk) sebagai terobosan strategis dan fleksibel di tengah perubahan ekonomi, budaya, sosial, dan politik. 

Para penari remo Karya Budaya dalam model pertunjukan terob. Dokumentasi penulis
Para penari remo Karya Budaya dalam model pertunjukan terob. Dokumentasi penulis

Dalam kasus tertentu, pemahaman tersebut akan membuat mereka terlibat dalam ideologi dominan. Dengan konsepsi tersebut, saya menemukan beberapa permasalahan untuk dibahas sebagai berikut.  

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun