Secara historis, ludruk telah terikat dalam hubungan antara kondisi sosial dan konteks sejarah sebagaimana telah kita bahas pada subbab sebelumnya.
Artinya, tidak sulit bagi sutradara atau penulis naskah ludruk untuk mengarang cerita-cerita baru berdasarkan permasalahan sehari-hari masyarakat, meskipun kebanyakan lebih tertarik, didorong oleh pemikiran pragmatis dan jejak popularitas cerita kolonial dalam ingatan publik, untuk mementaskan Sarip Tambakoso, Pak Sakera, Joko Sambang, dan kisah perlawanan lainnya.
Dalam arti kritis, penciptaan cerita-cerita baru penting untuk secara bertahap menghapus efek hegemonik militerisme dan untuk mendapatkan kembali hubungan ludruk yang lebih dekat dengan penontonnya yang umumnya berasal dari kelas bawah dan desa.
Di era Reformasi ini, masyarakat mengalami berbagai permasalahan sosial, ekonomi, politik, lingkungan, dan budaya. Semuanya dapat menjadi landasan imajinatif dan kreatif bagi para seniman dan sutradara ludruk yang dapat ditransfer ke dalam kidungan, humor, cerita, dan aksi pementasan lainnya.
Meski tidak bisa memberikan solusi praktis atas permasalahan tersebut, namun artikulasinya bisa membuat penonton merasa terwakili secara akurat dalam pertunjukan ludruk.
Paring Waluyo dan Happy Budhi (2007) berpendapat bahwa dengan mengenali dan memahami kebiasaan dan permasalahan penonton sehari-hari, seniman ludruk dapat menciptakan cerita, humor, dan kidungan yang terjalin dengan nilai dan peristiwa yang mudah dipahami dan diingat.
Beberapa kelompok ludruk sebenarnya sudah mulai membuat cerita kekinian berbasis masalah sosial dalam pementasannya untuk menarik penonton. Karya Budaya, misalnya, dalam beberapa kesempatan menampilkan Juragan Dhemit (Majikan Setan) dan Warisan Mak Yah, dua kisah yang menggambarkan peliknya persoalan nyata di masyarakat kita.
Cerita pertama berfokus pada kesengsaraan Saodah, seorang pembantu rumah tangga, yang diperkosa dan dihamili oleh majikannya. Majikan tidak mengakui anaknya. Kisah tersebut sebenarnya mewakili perjuangan dan ketakutan banyak perempuan kelas bawah yang ingin mencapai kesejahteraan ekonomi dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Indonesia maupun di luar negeri.
“Juragan Dhemit adalah cerita sosial yang banyak terjadi di masyarakat kita saat ini. Banyak wanita muda tiba di kota besar dan pergi ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga.
Memang, mereka dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga mereka dengan melakukan hal ini. Namun, kita sering mendengar dan membaca banyak cerita tragis yang dialami oleh mereka.
Oleh karena itu, kami membuat cerita untuk mengkritisi masalah sosial dan mengingatkan masyarakat umum, terutama perempuan, yang ingin pergi ke kota besar dan luar negeri.” (Susanto, wawancara, 12 November 2013)