Dengan mendapat izin dari aparat militer, meski tanpa kebebasan berekspresi, mereka tetap bisa berkreasi, menghibur penonton, dan mendapatkan keuntungan ekonomi. Setidaknya mereka memiliki cita-cita ideal bahwa kesenian rakyat ini mampu bersaing dengan masifnya popularitas industri budaya, seperti program televisi, film, dan produk musik.
Meskipun terlalu sulit untuk memiliki posisi dan prestasi yang sama sejak rezim memberikan para kreator industrial dan produsen kapitalis lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan produk budaya komersial mereka. Lebih lanjut, seniman ludruk juga mungkin bermimpi bahwa suatu saat rezim akan memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan pertunjukan ludruk.
Pada 1980-an, mimpi itu menjadi kenyataan ketika aparat militer menarik kembali posisi administratifnya dalam mengontrol pertunjukan ludruk.
Adapun implikasi dari kebijakan tersebut, beberapa kelompok ludruk di Surabaya, Mojokerto, Jombang, dan Malang diperbolehkan untuk membuat strategi, baik dalam keterampilan manajerial maupun pola diskursif, meskipun tidak berarti mereka mencapai kebebasan total dalam merepresentasikan masalah-masalah krusial di masyarakat.Secara manajerial dan kreatif, beberapa seniman ludruk terkenal dari Surabaya, Mojokerto, dan Malang mulai menemukan strategi pertunjukan yang lebih baru untuk memperbesar penontonnya hingga ke desa-desa ketika produk budaya pop dominan di kota-kota seperti Surabaya.
Gedongan, model pertunjukan pada masa Soekarno di mana kelompok ludruk tampil di tempat-tempat umum kota dalam waktu temporal (umumnya dalam seminggu atau sebulan) dengan menjual tiket kepada penontonnya maupun model teaternya (Samidi, 2006), adalah tidak cocok lagi karena orang kota lebih suka menonton film.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, beberapa kelompok ludruk dari Surabaya (Baru Budi, Susana, dan RRI), Mojokerto (Karya Budaya), dan Jombang (Kartika Jaya) mulai menemukan terobosan untuk memperlebar target penontonnya dengan membawa penampilan mereka ke pedesaan.
Mereka merumuskan tobongan, model pertunjukan selama dua atau tiga bulan di lapangan desa yang dikelilingi dengan menggunakan gedhek (dinding yang terbuat dari bambu) dan penonton harus membeli tiket satu malam.
Dalam tobongan, cerita perlawanan masih sangat populer dan wacana perkembangan masih menjadi unsur yang dominan. Memang, kisah-kisah itu menceritakan dan mengajarkan kepada penonton tentang keutamaan melawan otoritas kolonial sebagai basis pemupukan nasionalisme.
Lebih jauh lagi, mobilisasi oposisi biner antara pahlawan dan musuh, dalam hal ini penjajah, dapat menginternalisasi dan mengindoktrinasi pentingnya mengambil sikap tegas di bawah label kebangsaan. Dengan konstruksi politik-estetika ini, masyarakat akan selalu sadar akan bahaya dan dampak negatif dari nilai-nilai budaya barat yang dilambangkan oleh penjajah Belanda.
Pertanyaannya kemudian, mengapa rezim Orde Baru melalui seniman dan pertunjukan ludruk membutuhkan nasionalisme yang begitu antikolonial, padahal pada periode sebelumnya banyak pemikir dan kreatif telah menyuburkan konsep nasionalisme yang dinamis, yang memungkinkan mereka “mengimpor” berbagai wacana ideologi sebagai yayasannya.
Bagi kita, sangat penting untuk memahami program pembangunan nasional sebagai konteks sejarah dari proses kebudayaan, yang khususnya melibatkan kesenian rakyat.