Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film, Sensor, dan Paradoks Budaya Bangsa

8 Februari 2023   00:15 Diperbarui: 9 Februari 2023   00:01 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover VCD Pasir Berbisik. Sumber: Wikipedia

Memenggal, memangkas, dan semacamnya atar karya kreatif sinema sama artinya dengan mencoret-coret lukisan, atau bahkan menambah dan mengganti warna lukisan; dan itu sama artinya dengan menerabas moral rights. Perusakan terhadap moral rights harusnya ada aturan hukumnya. 

Dari kontestasi wacana-wacana di atas, bisa dilihat, betapa pengetahuan budaya bangsa mempunyai dampak kuasa yang sangat ‘produktif’ dari waktu ke waktu. Produktif maksudnya, pengetahuan tentang budaya bangsa telah melahirkan formasi diskursif yang tidak tunggal—ada yang pro dan ada pula kontra—dan menyebar dengan apik melalui kontestasi di media massa. 

Di samping itu, usaha mempertahankan LSF dari para birokrat seni maupun para kritikus normatif, menjadi penanda lahirnya strategi-strategi diskursif yang diimbangi dengan regulasi-regulasi pemertahanan. Gugatan-gugatan yang dilakukan oleh MFI maupun para pendukungnya juga merupakan efek kuasa pengetahuan budaya bangsa yang bersifat resisten. 

Sayangnya, pemertahanan dan gugatan tersebut cenderung memposisikan budaya bangsa maupun moralitas sebagai “ranah yang beku” sehingga baik “tergugat” maupun “penggugat” cenderung hanya berkutat pada pro kebijakan dan kontra-kebijakan. 

Kalaupun kemudian pihak pemerintah yang menang dalam proses peninjauan kembali, maka bisa dipastikan re-hegemoni kuasa rezim akan kembali diulangi dengan perluasan-perluasan wacana dan pengetahuan baru tentang budaya bangsa, yang tentunya dengan didukung kekuatan hukum yang semakin tegas. 

Kalaupun MFI yang menang, maka kemungkinan yang akan terjadi, adalah perubahan regulasi tetapi tetap dengan mengkompromikan persoalan budaya bangsa ke dalam narasi film Indonesia. 

Karena persoalan film berkaitan dengan para penonton dan pihak-pihak komunal dalam masyarakat yang, tentunya, masih berada dalam ragam wacana ideologis hegemonik dengan mengedepankan budaya dan moralitas ala Indonesia.

Beberapa Catatan

Dari uraian di atas, secara implisit, bisa diketahui bahwa membicarakan film memang tidak bisa dilepaskan dari kuasa pengetahuan tentang budaya bangsa yang mencakup banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. 

Maka, ketika usaha resistensi hanya diarahkan pada perubahan regulasi, tanpa mempertimbangkan strategi diskursif bagi persoalan budaya itu sendiri, tentu saja akan menjadi sia-sia karena tidak bisa menyelesaikan masalah dan kelak di kemudian hari hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru. 

Yang dibutuhkan saat ini adalah strategi diskursif untuk terus mewacanakan usaha mengkritisi budaya bangsa yang sudah terlanjur diakui dan diamini oleh masyarakat. Kesadaran kritis yang harus dibangun, adalah bahwa budaya bangsa ini bukanlah “ranah yang beku” sehingga harus dikritisi dengan cara membongkar aspek-aspek kuasa-negatif di dalamnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun