Pintu Hidayah. Tokoh antagonis digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai tabiat yang kurang baik dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ia mulai mengalami konflik dengan tokoh-tokoh lain di lingkungan sekitarnya. Ia melakukan perbuatan aniaya kepada mereka.
Ia mengalami musibah/kecelakaan yang tragis. Lalu, ia menyadari semua kesalahannya dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Selanjutnya ia memohon ampunan kepada Tuhan.
Menilik model alur cerita dari masing-masing tayangan di atas, bisa dilihat adanya kemiripan atau bahkan kesamaan. Yang membedakan hanyalah bentuk balasan dari Tuhan kepada masing-masing tokoh antagonis. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan tampilan yang homogen merupakan karakteristik dari televisi swasta Indonesia ketika menjadi entitas komersial.
Mengenai realitas tersebur, Sudibyo (2004: 62-63) menjelaskan bahwa para pengelola televisi kerepotan memenuhi tuntutan produksi ketika televisi telah menjadi entitas komersil. Mereka harus mempersiapkan banyak acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang.
Padahal produktivitas industri-industri pendukung televisi (production house) belum bisa banyak diharapkan terutama karena keterbatasan SDM dan teknologi. Ssinetron, komedi, dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan, dan setting cerita sesungguhnya serupa.
Tidak mengherankan ketika semua tayangan sinema reliji mempunyai kesamaan satu sama lain. Di samping keterbatasan SDM teknologi, keseragaman format acara tersebut juga dipengaruhi oleh trend tayangan yang sedang berkembang. Sinema reliji sebenarnya ditayangkan pertama kali oleh TPI dengan Kuasa Illahi-nya dan mendapatkan respons cukup baik dari para pemasang iklan.
Trend positif itulah yang kemudian ditiru oleh stasiun-stasiun lainnya dengan harapan mereka juga akan mendapatkan ‘kue iklan’. Dengan kata lain, dari sisi ideologi kapitalis, penayangan sinema reliji merupakan alat dominasi dari pengelola industri televisi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menarik perhatian ummat Islam untuk menaikkan rating.
Dari sisi ideologi, alur cerita sinema reliji dan tampilan-tampilan visual yang cenderung bombastis, seperti dalam Kuasa Illahi dan Sinema Hidayah, telah menghadirkan pemahaman baru tentang ajaran Islam, terutama tentang balasan Tuhan kepada umat-Nya, yang sangat distortif sifatnya.
Tuhan, misalnya, lebih sering digambarkan sebagai Dia yang berkehendak dan bertindak kejam kepada umat-Nya yang bersalah. Dia bisa mengutuk dan menyiksa si ummat yang berbuat dosa dengan peristiwa tragis hingga ia meninggal. Bahkan sebelum meninggal ia harus mengalami siksa yang memalukan bagi pihak keluarga berupa tubuh yang dipenuhi ulat atau belatung, misalnya.
Ini adalah sebuah hiperrealitas yang terlalu distortif dan bombastis karena pada dasarnya siksaan seperti itusangat jarang terjadi di kehidupan nyata. Dan ironisnya, peristiwa seperti itu selalu mendapat legalitas dari para ustadz yang biasanya bertugas menutup cerita dengan nasehat Islami tentang adegan visual yang ditayangkan.
Dengan demikian, tayangan-tayangan sinema tersebut sebenarnya telah menghadirkan representasi pengetahuan baru tentang perilaku Islam yang serba ketat dan kejam sehingga setiap ummat harus sudah semestinya mau mengikutinya ketika ingin selamat, baik di dunia maupun di akhirat.