Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca-ulang Pascakolonialisme: Kritik Teori dan Implikasi Metodologis

18 April 2023   06:44 Diperbarui: 18 April 2023   10:06 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perdagangan yang menguntungkan negara maju dan mencekik negara berkembang. Sumber: https://proper-cooking.info

Artinya, sejak awal kolonialisme memang berkembang melalui 'percumbuan manis' beragam situs yang memunculkan endapan dampak diskursif dan praksis bagi masyarakat terjajah dan eks-terjajah sampai dengan hari ini.  

Kolonialisme dibangun melalui praktik politik, militer, ekonomi, dan kultural (pendidikan/pengetahuan, agama, bahasa, sastra, dan budaya) untuk menaklukkan, menguasai, dan mengeksploitasi sebuah wilayah beserta potensi sumberdaya alam dan masyarakatnya (Gillen & Ghosh, 2007: 14); sebuah matrik kuasa kolonial (Mignolo & Tlostanova, 2008).

Proyek kultural kolonialisme berbasis formasi modernitas menempatkan pihak penjajah pada posisi "superior/ordinat" dan pihak terjajah pada posisi "inferior/subordinat". 

Keunggulan Barat (rasional, berpendidikan, beragama, beradab, dan modern) seolah mendapatkan pembenarannya ketika dipertentangkan secara biner dengan stereotipisasi Timur (terbelakang, kanibal, tidak bependidikan, mistis, eksotis, dan tidak beragama) melalui konstruksi dan mobilisasi makna ideologis. 

Konstrukdis dan  mobilisasi tersebut direpresentasikan dalam banyak catatan perjalanan, karya sastra, pameran etnografis, buku antroplogi, maupun pendidikan, sehingga kolonialisme mendapatkan alasan pembenaran atas nama "misi pemberadaban" (Said, 1978, 1994; Slemon, 1995; Clestin, 1996; Weaver-Hightower, 2007; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998).

Kolonialisme tidak hanya berimplikasi pada persoalan politik dan ekonomi, tetapi juga wilayah psikis, kultural, dan ideologis di mana manusia terjajah tidak merdeka untuk mengkonsepsi subjektivitas berdasarkan kekuatan kultural sendiri. Mereka dikonsepsikan sebagai tabula rasa ataupun anak kecil yang harus diajari untuk menjadi modern dengan peradaban Barat (Aschroft,  2001: 36-52). 

Setiap hari masyarakat terjajah "dipandang" secara stereotip oleh penjajah sebagai pemalas serta pencuri, sehingga mereka mengalami kekerasan ideologis dan rasis yang seringkali memunculkan inferioritas psikis (Memmi, 1975: 79-89). 

Sebaliknya, masyarakat terjajah secara ajeg "memandang" kecantikan/ketampanan orang-orang Eropa dengan kulit putih yang seolah 'diberkahi' kepandaian dan kehidupan modern, sehingga muncul "ketidaksadaran kolektif" untuk bermimpi dan meniru keunggulan mereka (Fanon, 2008: 74). 

Meskipun demikian, mereka juga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan pengetahuan kultural-lokal. Akibatnya, subjek terjajah mengalami permasalahan psikis dalam mengkonsepsikan subjektivitas karena selalu berada dalam ambivalensi antara tradisionalisme dan modernisme yang seringkali menghadirkan dualitas tragis atau kegandaan psikis (Mbebe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17). 

Subjektivitas yang dikonsepsikan dari kegandaan dan ambivalensi kultural menjadi karakteristik utama masyarakat pascakolonial. Hasrat untuk menikmati kemerdekaan, nyatanya, bukan berarti menghapus semua pengaruh diskursif kolonialisme. 

Masih kuatnya endapan ideologis terhadap pesona modernitas, menjadikan para founding fathers negara pascakolonial mengadopsi sistem kenegaraan, baik hukum, politik, maupun ekonomi, yang berasal dari Barat (Baxi, 2005; Venn, 2006: 69). 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun