Tentu saja, realitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengetahuan tentang perempuan dan laki-laki yang sebenarnya masih berorientasi pada superioritas laki-laki.
Peran Domestik Perempuan dalam Film
Gender pada awalnya dipandang sebagai persoalan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan relasi seksual yang ada di dalamnya (seksualitas). Dalam perkembangannya, perbedaan tersebut menghasilkan konstruksi dan relasi sosio-kultural antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung, bertransformasi, beroperasi, dan mewujud dalam masyarakat (Richardson, 2007).Â
Namun, apa yang tidak boleh dilupakan adalah pewacanaan terus-menerus perbedaan antara laki-laki dan perempuan sehingga gender bisa masuk ke dalam ranah sosio-kultural yang pada akhirnya menghasilkan praktik-praktik berdasarkan wacana tersebut serta menjadi bagian tak terpisahkan dari institusi sosio-kultural (Risman, 2004).Â
Ketika persoalan gender menjadi bagian dari institusi sosio-kultural yang berjalan secara wajar dalam kehidupan sehari-hari, maka gender bisa diposisikan sebagai struktur yang mampu mengatur bagaimana persepsi dan perilaku anggota masyarakat dalam relasi sehari-hari, terutama berkaitan dengan peran dan peranan berdasarkan jenis kelamin.
Apa yang paling banyak berlangsung hingga saat ini di sebagian besar masyarakat dunia adalah kuasa laki-laki dengan ideologi patriarki yang menyebar dan terus bertransformasi dalam struktur dan sistem sosial. Menjadi wajar kalau laki-laki sampai saat ini masih menjadi kelas pemimpin.Â
Dalam relasi kuasa patriarkal, perempuan, sebagai kelas subordinat, lebih memainkan peran domestik, berkaitan dengan rumah tangga, karena ideologi patriarki sudah berhasil mewujud menjadi struktur yang mengarahkan perempuan mereferensikan tindakan dan perannya berdasarkan struktur ideologis yang terus beroperasi (Walby, 1989).
Perempuan dikonstruksi dan ditradisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada urusan domestik dan kalaupun bekerja formal hanya sebatas pada pekerjaan dengan akses gaji dan posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.Â
Sementara, laki-laki diwacanakan sebagai mereka yang sedari awal kelahiran sudah dibentuk secara sosial untuk bertanggung jawab terhadap urusan luar, dari soal ekonomi hingga politik. Kuatnya patriarki dalam masyarakat bukan hanya berasal dari bercokolnya laki-laki dalam setiap ranah privat maupun publik.Â
Lebih dari itu, masih kuatnya ideologi patriarki dalam masyarakat saat ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana operasi kuasa yang dibangun dan disebarkan melalui aparat-aparat yang secara transformatif terus mereproduksi superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan dalam wacana yang berkembang dalam masyarakat.Â
Kelas patriarkal sebenarnya tidak pernah memberi label nama bagi penyebaran nilai-nilai ideologisnya, namun terus meng-eks-nominasi wacananya melalui praktik-praktik sosio-kultural, ekonomi, politik, maupun representasi media. Di dalam media, laki-laki direpresentasikan sebagai subjek yang sudah selayaknya menempati posisi dominan.Â