Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siasat Perempuan Diasporik dalam Novel Almost a Woman

23 Februari 2023   00:14 Diperbarui: 23 Februari 2023   00:17 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para imigran melestarikan tradisi kuliner mereka yang kaya rasa di AS. Sumber: Lawrence Thornton/Getty Image/ancestry.com

Dualitas budaya dan selipnya subjek mimikri (pemiruan) menekankan ketidakpastian perbedaan budaya di ruang pasca-kolonial; fungsi pengawasan yang dominan terhadap subjek mimikri-subordinat terganggu karena inapropriasi dan gangguan terhadap kebenaran kultural dan kekuasaan dominan. 

Peniruan juga merupakan ejekan karena subjek subordinat meniru budaya Barat, namun hal ini tidak membuat mereka meninggalkan budaya ibu sepenuhnya. Visi ganda mimikri dapat menjadi ancaman bagi kekuatan dominan karena merongrong kesatuan dan keutuhan wacana dan pengetahuan tuan sebagai dasar operasi kekuasaannya (Bhabha, 1984: 128-129). 

Mimikri kemudian menjadi pilihan strategis bagi subjek subordinat untuk bertahan di tengah kelompok dominan yang masih menganggap mereka sebagai Liyan; mendisartikulasikan suara kekuasaan sebagai bentuk agen (Mitchell, 1995).

Ketika mimikri berlangsung dalam berbagai produk representasional dan praktik sehari-hari yang mengganggu keutuhan konstruksi pengetahuan sebagai basis operasi kekuasaan dengan menggunakan kerangka oposisi biner, implikasi selanjutnya adalah tidak adanya budaya murni atau otentik dan munculnya hibriditas. 

Namun, hibriditas bukan sekedar wacana atau praktik percampuran lintas-kultural, seperti asimilasi, sinkretisme, atau kreol. Alih-alih, ia justru membawa dinamika politis-kultural yang dialami oleh subjek-subjek terjajah atau eks-jajahan. 

Sebagai produk dari mimikri-mokeri dalam artikulasi ganda, hibriditas memungkinkan perspektif, perilaku, dan wacana subjek hibrid dalam memahami-kembali klaim perbedaan kebenaran epistemologis sebagai dasar dominasi. Memang dengan adanya identitas hibrid, subjek subordinat lebih mudah dikendalikan oleh subjek dominan karena ia tampak mengikuti dan mempraktikkan budaya dominan. 

Namun, hibriditas tersebut merupakan penyangkalan atas kekuasaan berbasis diskriminasi, karena ia dapat memperbanyak subjektivitas dan budayanya. Dalam hibriditas, masih terjadi negosiasi budaya lokal/induk di mana kekuatan resisten di tengah ambivalensi dan tipu daya pengakuan masih ada. 

Aspek budaya dominan tidak lagi digunakan sebagai simbol otoritas, tetapi sebagai tanda yang dapat menghasilkan makna selip baru dan selanjutnya dapat merusak fondasi perbedaan kultural secara esensial. Sementara, kelompok dominan menganggap kelompok subordinat sebagai pihak yang lemah, hibriditas bisa menjadi strategi kultural untuk menipu makna yang diinginkan pihak dominan.

Memang, untuk konteks Amerika Latin, perspektif pascakolonial-nya memiliki kekhususan yang berbeda dari perspektif yang dikembangkan oleh Bhabha. Pemikir Amerika Latin kurang tertarik terhadap ide-ide pascakolonial yang dikembangkan oleh Said, Spivak, dan Bhabha karena mereka lebih menekankan pada aspek tekstual sastra dan bahasa (Vieira, 1999). 

Bagi banyak pemikir Amerika Latin, dekolonisasi telah menjadi upaya akademis dan praktis untuk membongkar dan melawan warisan eksploitatif kolonialisme Eropa dan AS serta transformasinya menjadi globalisasi dan kapitalisme neoliberal di negara-negara Dunia Ketiga seperti negara-negara Amerika Latin (Mignolo, 2020a, 2020b, 2011, 2007a, 2007b; Mignolo & Walsh, 2018). 

Perspektif dekolonialisasi juga dibawa ke dalam kajian sastra dengan menjadikan karya sastra yang diproduksi di negara Amerika Latin sebagai objek material untuk mengungkap wacana dan strategi dekolonialisasi guna membongkar pengaruh kolonial-Eurosentris serta membangun pengetahuan sastra yang mengartikulasikan ciri sosial-kultural masyarakat (Ramos & Daly [eds], 2016). Kalaupun ada yang berbagi isu hibriditas, obyek materialnya mengutamakan basis sosial dari proses budaya (Aboul-Ela, 2004; Canclini, 2005).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun