Usai menyuguhkan pertunjukan teatrikal di mana Negi berperan sebagai Sang Perawan, ia merasa terjebak antara kehidupan barunya sebagai mahasiswa dan aktris di satu sisi dan kehidupan keluarganya dengan ikatan yang kuat dengan tanah air di sisi lain.
Karena tidak bergerak, aku berdiri di tengah-tengah keduanya, tidak dapat memilih, berharap pesta tidak akan menjauh dariku dan bahwa keluargaku akan tetap kokoh di tempat mereka berada.Â
Pada akhirnya aku berdiri sendiri di antara keduanya, dan ketika sudah jelas tidak ada yang merindukanku dalam pertemuan hangat para aktor dan guru, aku berjalan kembali ke Mami dan dalam beberapa menit kami berada di kereta menuju Brooklyn. (Santiago, 2012: 145)
Sebagai subjek diasporik, Negi memang membiasakan diri dengan tradisi metropolitan Amerika untuk meraih impiannya. Ia, misalnya, sering berpesta dengan teman-teman kulit putihnya di sekolah sebagai bagian dari sosialisasi. Mengadakan pesta menjadi hal yang biasa bagi orang Amerika terutama bagi anak-anak muda.Â
Ketika ia terbiasa dengan pesta, Negi sebenarnya semakin melanggar norma Puerto Rico, meskipun ia tidak dapat sepenuhnya melarikan diri drimya. Keluarga dan semua budaya di dalamnya merupakan ruang privat yang selalu menempatkannya sebagai subjek subordinat.Â
Sebaliknya, perayaan pesta dan pertemanan dengan kaum Amerika lainnya adalah kegiatan di ruang publik. Ketegangan di antara dua ruang ini, meskipun secara ideal dikatakan dapat membangkitkan energi kreatif bagi para subjek diasporik, juga dapat menimbulkan masalah yang serius ketika ia tidak dapat mengatasi dan mengatur keberantaraan.Â
Ia merasa dirinya "tidak bisa bergerak," tidak bisa pindah ke salah satu kutub, keluarga atau kehidupan bebas. Saat hendak memasuki sepenuhnya dunia kaum muda kulit putih, ia masih merasakan jarak karena meski telah berjuang untuk menjadi seperti kawan kulit putihnya, ia tetap diposisikan sebagai perempuan Latin yang berbeda. Sementara itu, untuk kembali ke budaya Puerto Rico yang seutuhnya, nyatanya, ia telah melakukan banyak pelanggaran.
Dalam fase kritis yang dapat memunculkan klaim atas identitas, kesadaran etis membuat Negi cenderung mengingat dan menimbang kembali apa yang pernah dialaminya di masyarakat induk. Ketika dia menyadari bahwa "tidak ada yang merindukanku dalam pertemuan hangat para aktor dan guru," kembali ke Mami di Brooklyn adalah pilihan budaya untuk kembali ke otoritas lokal dalam kehidupan metropolitan.Â
Memang, ia memiliki banyak kesempatan untuk menikmati kemajuan hidup dan menjadi perempuan yang mandiri secara ekonomi. Sementara, ibu adalah otoritas adat yang dapat mengganggu upayanya untuk menjadi perempuan yang berkembang dengan banyak ketidaksetujuan.Â
Namun, apa yang harus diperhatikan adalah bahwa Negi tidak ingin melepaskan semua kesempatan untuk menjadi profesional. Apa ia butuhkan adalah komitmen batin dan spiritual kepada otoritas keluarga, ketika dalam kehidupan metropolitan ia tidak menemukannya.Â
Seberapapun kuatnya pengaruh liberalisme, kehadiran ibu dan keluarga bagi perempuan muda yang terbiasa merasakan kehangatan dan kasih sayang pasti akan mengingatkan kembali kesadaran batinnya untuk pulang. Selain itu, tidak adanya kawan yang akan merindukannya, semakin meyakinkan Negi untuk kembali ke Brooklyn di mana ia akan bertemu kembali dengan ibu, keluarga, dan ke-Puerto Rico-annya.