Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orientalisme dan Kuasa Kolonial: Membaca Pemikiran Edward Said

26 Januari 2023   11:50 Diperbarui: 29 Januari 2023   08:05 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gate of the Great Mosque, Damascus (Gustav Bauernfeind). Sumber: Wikimedia Commons 

A Water Carrier at the Harem Entrance, 1883 (Gustave Boulanger). Sumber: Wikimedia Commons 
A Water Carrier at the Harem Entrance, 1883 (Gustave Boulanger). Sumber: Wikimedia Commons 

Pengetahuan tersebut disebarluaskan melalui bermacam aparatus hegemonik seperti keluarga, sekolah, media, karya sastra, dan yang lain, sehingga memperkuat dan memperluas pengaruhnya terhadap kesadaran komunal tentang superioritas Barat beserta kepatutan ekonomi dan politik yang menyertainya. 

Kebudayaan Eropa superior itulah yang diyakini menjadikannya kekuatan hegemonik di wilayah non-Eropa, termasuk wilayah jajahan. Penempatan Timur sebagai subjek inferior dengan segala makna keterbelakangannya menemukan legitimasinya ketika dihadapkan kepada keunggulan Barat. 

Dalam proses demikian, pengetahuan Barat menjadi aparatus kekuasaan hegemonik karena keunggulannya yang bisa menjadi subjek Timur juga menganggapnya sebagai impian ideal untuk diwujudkan.

Tentu saja, itu semua juga bergantung pada kelenturan posisi superioritas yang dimainkan aparat Barat. Setidaknya, sejak akhir era Renaissance, ilmuwan, pedagang, tentara, dan misionaris berada di Timur, leluasa untuk melakukan identifikasi dan memikirannnya tanpa perlawanan berarti dari pihak pribumi. 

Sejak akhir abad ke-18, Timur dimunculkan ke dalam banyak ruang dan bidang akademis, untuk dipajang di museum, untuk ilustrasi teoretis dalam tesis antropologis, biologi, linguistik, rasial, dan historis tentang umat manusia dan alam semesta, dan untuk contoh teori ekonomi dan sosiologis tentang pengembangan, revolusi, kepribadian, budaya, karakter nasional ataupun agama. 

Selain itu, pemeriksaan imajinatif atas hal-hal Oriental didasarkan lebih atau kurang secara eksklusif pada kesadaran Barat yang berdaulat yang sentralitasnya muncul dari dunia Oriental. 

Pertama-tama menurut gagasan umum tentang siapa atau apa itu Oriental, kemudian menurut logika terperinci yang diatur tidak hanya dengan realitas empiris tetapi oleh serangkaian keinginan, represi, investasi, dan proyeksi.

Apa yang perlu dicatat adalah bahwa pemikiran Orientalisme ini bukan hanya berlangsung di era kolonial ketika penjajah Barat benar-benar membutuhkan legitimasi diskursif terhadap keungunggulan pemikiran dan budayanya di atas bangsa lain yang berada dalam posisi inferior atau subordinat. 

Di era pascakolonial ketika di muka bumi dikatakan sudah tidak ada lagi penjajahan secara administratif, stereotipisasi terhadap mereka yang berasal dari non-Barat bukan berarti berakhir. 

Dalam banyak pemberitaan media ataupun narasi filmis tentang orang-orang yang secara ideologis berseberangan dengan kepentingan besar Barat untuk menegaskanya posisi hegemoniknya di muka bumi, masih akan direpresentasikan dalam citra atau ceria stereotip yang bermakna negatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun