Argumen untuk menjaga keharmonisan dengan alam (sendang dusun dan arwah penunggu) merupakan tafsir ekologis-lokal yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan komunal yang bisa terus dimobilisasi sebagai usaha konstruktif untuk menjaga relasi mikrokosmos dan makrokosmos.Â
Tafsir ekologis inilah yang pada masa kini banyak dimunculkan oleh para pegiat lingkungan. Dan, ternyata Mbah Ri, sebagai tokoh pinisepuh dusun, juga memiliki tafsir serupa. Ini menunjukkan mulai dikembangkannya kesadaran ekologis sebagai muatan tak terbantahkan dari pelaksanaan ritual bersih desa.Â
Logikanya sederhana. Sendang dikeramatkan dan di-slameti setiap tahun agar muncul kesadaran warga untuk memelihara kelestariannya. Penceritaan dan penghormatan terhadap arwah leluhur penunggu sendang menjadi mekanisme lokal agar warga takut untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa merusak sumber air di sendang tersebut.Â
Bisa dibayangkan ketika warga sudah tidak takut lagi untuk membuat kerusakan, seperti menebang pohon besar yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah, sumber air di sendang akan habis dan mereka sendiri akan menanggung akibat buruknya.Â
Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan semakin beraninya manusia menggunakan nalar rasional dan ekspansionis mereka untuk membabat pohon-pohon besar tanpa rasa takut terhadap eksistensi para arwah penghuni dan penjaga ikut berkontribusi pada terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.
Pengetahuan dan kekuatan ekologis masyarakat lokal itulah yang pada masa kini menjadi perhatian para aktivis dan pemikir ketika mereka mencoba untuk mengelaborasi gagasan-gagasan penyelamatan lingkungan. Terkait dengan kecenderungan tersebut, Wicaksono (2012) memaparkan dalam kajian kontemporer, hal itu relevan dengan konsep ecoliteracy-nya Fritjof Capra.Â
Menurut Capra, dalam kehidupan modern, masalah ekologi menjadi masalah yang krusial. Paradigma dalam memanfaatkan alam perlu diubah menjadi paradigma bersatu dengan alam. Cara pandang yang menganggap alam sebagai objek menjadikan eksploitasi berjalan secara tak terkendali yang memunculkan kerusakan ekologi.Â
Artinya, adalah keselarasan hidup antara manusia dan alam perlu dijaga secara utuh. Manusia yang menghargai alam memang semakin sedikit. Namun, setidaknya dengan budaya yang turun temurun ini, bisa membentuk paradigma Hamemayu Hayuning Buwana. Di mana setiap manusia sesuai kodratnya sebagai makhluk bermartabat, mempunyai tujuan hidup untuk membuat dunia semakin cantik.
Penghadiran konsep ecoliteracy di tengah-tengah wacana ekologis masyarakat dusun, dalam hal ini warga Sumbermuneng, merupakan usaha diskursif untuk menegaskan bahwa pemikiran wong ndeso tidak jauh berbeda dengan pemikiran orang Barat dalam memandang krisis lingkungan.Â
Apa yang harus diperhatikan adalah pemahaman warga desa tidak lahir dari krisis ekologis, tetapi lahir dari kesadaran resiprokal antara jagat cilik "manusia" dan jagat gedhe "alam semesta dan segenap isinya."Â
Ketika para pemikir dan aktivis Barat tergagap-gagap memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menyelamatkan lingkungan dari kerakusan nalar tanpa-batas manusia modern, masyarakat desa di tengah-tengah modernitas dan stigma agama mayoritas memiliki kekuatan komunal-konvensional berupa ritual ruwat/bersih desa yang telah dijalankan turun-temurun.Â