Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tayub dalam Ritual Desa: Siasat Transformatif untuk Daya-Hidup

18 Januari 2023   00:15 Diperbarui: 18 Januari 2023   00:12 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu membawa makanan untuk ritual bersih desa di Sendang Puncak Wangi, Babat, Lamongan. Dokumentasi Djoko Prakosa

Pemertahanan ritual bersih desa yang pada sebagian wilayah di Jawa Timur mensyaratkan pagelaran tayub sedikit banyak ikut berkontribusi terhadap penerimaan kesenian ini di masyarakat. 

Konstruksi wacana yang dikedepankan oleh para sesepuh desa dan para penggemar relatif tidak berbeda dari masa Orba, yakni pertunjukan tayub menjadi syarat yang diminta oleh para dhanyang desa/dusun agar doa warga bisa terkabulkan. 

Ini bukan dimaksudkan untuk melakukan tindakan syirik, tetapi para ruh penjaga desa itu dianggap sebagai perantara antara keinginan manusia dan kehendak Tuhan. Pemahaman ini merupakan warisan dari keyakinan religi dari masa kerajaan pra-Islam. 

Meskipun memiliki pemahaman demikian, warga desa yang biasa nyadran (ritual bersih desa di Lamongan) dengan nanggap tayub masih mendapatkan tentangan dari para pemuka agama, baik yang berafiliasi ke Muhammadiyah maupun NU. 

Dalam banyak kesempatan kutbah maupun pengajian, mereka menjustifikasi nyadran sebagai bentuk takhayul dan syirik yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam dosa tak terampuni. 

Ditambah lagi dengan pertunjukan tayub yang dikatakan mengumbar maksiat karena dandanan dan gerak erotis para tandhak serta keberadaan minuman keras. Semua klaim atas dosa pertunjukan tayub memang bisa dibenarkan apabila dilihat dari kacamata agama. 

Masalahnya adalah semua doktrin keagamaan terkait nyadran dan tayub masih belum mampu mengubah dan meniadakan keyakinan sebagian besar warga terhadap pentingnya kedua acara tersebut dalam tindakan kosmologis mereka. 

Para pengibing menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Lamongan. Dokumentasi penulis
Para pengibing menari bersama tandhak dalam pertunjukan tayub di Lamongan. Dokumentasi penulis

Jadi, meskipun mereka bersembahyang dan mengikuti pengajian di masjid, masih ada keengganan untuk meniadakan nyadran dan tayuban dari ruang kultural desa. Inilah bentuk kompleksitas kultural desa dalam kaitannya dengan agama. 

Keinginan untuk terus melanjutkan ritual bersih desa dengan tayubnya tidak menjadikan sebagian warga untuk enggan pergi ke masjid. Sebaliknya, ketaatan untuk mengikuti syariat agama tidak menjadikan mereka melupakan bahwa ada warisan nenek moyang yang mesti dijaga keberlangsungannya.

Keinginan untuk tidak memunculkan ketegangan dan konflik berlanjut sebagai akibat perbedaan pemahaman tersebut memunculkan siasat berupa apropriasi sebagian ajaran Islam ke dalam praktik ritual nyadran. Sebagian besar ritual bersih desa di Lamongan sudah memasukkan doa-doa Islam sebagai pengantar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun